Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Ada NU di Balik Jokowi

12 Juni 2017   15:24 Diperbarui: 13 Juni 2017   11:58 5604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: nu.or.id

Seperti memiliki kedekatan khusus, ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU) dan Presiden Joko Widodo (Jokowi) semakin “mesra” dalam berbagai hubungan sosial-politik. Kemesraan tidak ditunjukkan oleh para tokoh NU dengan Jokowi, tetapi juga dengan cara pendekatan Jokowi yang lebih banyak dilakukan melalui kunjungan dan bantuan-bantuan sosial-keagamaan terhadap pesantren-pesantren yang memiliki afiliasi kepada NU. Hampir seluruh pesantren yang berafiliasi NU di Pulau Jawa sudah disambangi Jokowi, dan terakhir adalah kunjungan Jokowi ke kantung-kantung NU di Jawa Barat—khususnya Priangan Timur—seperti Tasikmalaya dan Ciamis. Pesantren Cipasung, Tasikmalaya dan Pesantren Darussalam, Ciamis adalah perwakilan dari “simbol” NU, walaupun yang disebut terakhir ini tidak ditunjukkan secara formal.

Kunjungan Jokowi ke pesantren-pesantren NU di Jawa Barat, tidak juga diartikan sebagai sebuah kunjungan biasa, tanpa melepaskan dari unsur-unsur politis tertentu. NU, nampaknya dilirik Jokowi sebagai kekuatan politik terakhir yang dianggap mampu menyokongnya di Pilpres 2019 mendatang terutama dukungan dari kalangan muslim, setelah dirinya benar-benar “dijebak” oleh kelompok muslim konservatif gara-gara kasus Ahok yang telah memperparah citra dirinya. NU adalah termasuk ormas Islam yang lebih luwes terhadap perbedaan, tradisi, budaya maupun agama, yang sedikit banyak memiliki kesamaan visi dengan Jokowi. Keberadaan NU, justru dapat menjadi “penjaga” terhadap kekuasaan politiknya yang belakangan semakin sering “digoyang” oleh kalangan muslim lainnya yang cenderung konservatif.

Manuver Jokowi dalam “mengamankan” suaranya terutama untuk tujuan Pilpres 2019, tak ada pilihan lain, menjaga dan terus merawat NU, sebagai satu-satunya harapan dari kalangan muslim yang paling memungkinkan mendukung dirinya pada kontestasi politik mendatang. Tidak aneh rasanya, ketika acara haul yang bersifat lokal, seperti yang digelar di Pesantren Buntet, Cirebon, Jokowi rela hadir atas undangan pihak pesantren yang dianggap paling tua di wilayah Cirebon ini. Cirebon, merupakan basis NU yang cukup kuat untuk wilayah perbatasan antara Jawa Barat dan Jawa Tengah dan mempunyai kesejarahan NU secara langsung dengan pendiri NU, Hadratus Syekh KH Hasyim Asy’ari, terutama saat pertempuran Surabaya.

Di Cirebon, Jokowi juga mendukung Kongres Ulama Perempuan Internasional yang digagas kalangan aktivis perempuan NU yang sukses digelar di Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin Cirebon. Kegiatan ini mampu menyedot khalayak aktivis perempuan yang nota bene berlatarbelakang NU atau pesantren dan membangkitkan citra politik Jokowi di kalangan kaum hawa. Lagi-lagi, NU dipilih Jokowi sebagai bagian dari penyemaian citra politiknya yang paling menjanjikan bahkan dibandingkan dengan ormas Islam sejenis lainnya. Sepertinya keberadaan NU selalu didukung seluruh kegiatannya oleh Jokowi yang secara tak langsung seperti “Ada NU di balik Jokowi” di mana Jokowi saat ini disaat citra politiknya terus melorot di tengah kalangan umat muslim, NU bersikap netral dan dapat memberikan angin segar bagi kelanjutan kekuasaan politik dirinya.

Kenyataan NU yang seringkali sejalan dengan prinsip politik Jokowi, semakin Jokowi terus memanfaatkan NU sebagai bagian dari “Islam politik” yang terus didengungkannya sebagai kalangan Islam yang selalu berada di belakangnya. Hal ini dibuktikan oleh kembalinya Jokowi menyambangi beberapa pesantren NU di Jawa Barat minggu lalu, padahal sebagaimana diketahui, Tasikmalaya dan terlebih Ciamis disebutkan sebagai bagian komunitas muslim militan yang tak pernah absen dari peristiwa demonstrasi umat muslim di Jakarta. Bahkan Ciamis sempat mendunia karena aksi long march yang dilakukan umat muslim lintas usia menuju Jakarta hanya untuk bergabung dengan rekan-rekan muslim lainnya menuntut penguasa agar memenjarakan penista agama.

NU Jawa Barat, tampaknya juga memanfaatkan kunjungan Jokowi untuk merestui berbagai program pembangunan infrastruktur pesantren, baik yang berada di lingkungan Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, maupun pembangunan infrastruktur pesantren yang ada di wilayah Ciamis. Padahal, sebelumnya, kalangan umat Islam di Tasikmalaya ketika peristiwa demonstrasi umat Islam di Jakarta termasuk kelompok yang paling vokal menyuarakan aspirasi politiknya.

Salah satu tokoh penggeraknya, KH M Aminuddin justru malah didaulat menjadi khatib sholat Jumat di Masjid Agung Kota Tasikmalaya tepat di saat Jokowi melaksanakan sholat Jumat di masjid tersebut. Secara tidak langsung, Jokowi mampu “menundukkan” kalangan NU yang dahulu pernah “berseberangan” dengan penguasa bahkan kritik-kritik mereka kepada Jokowi yang sempat menajam, kini setelah kunjungannya tampak hampir tak terdengar.

Tak berbeda jauh dengan Pesantren Darussalam, Ciamis, yang pernah dipimpin oleh salah satu tokoh ulama berpengaruh di Jawa Barat, almarhum KH Irfan Hielmi. Kedatangan Jokowi ke wilayah Ciamis ini, tidak sekadar sebatas kunjungan silaturrahim dengan kalangan Nahdliyyin, tetapi juga merealisasikan pembangunan infrastruktur di beberapa pondok pesantren, termasuk di Darussalam membangun beberapa asrama santri dan juga gedung-gedung pertemuan. 

Di Darussalam, Jokowi bahkan menantang kalangan pesantren untuk menyediakan lahan yang legal dan langsung akan dibangun kebutuhan fasilitas pesantren yang dikehendaki. Jokowi juga nampaknya menginventarisasi beberapa kebutuhan infrastruktur pembangunan pesantren yang langsung segera direalisasikannya jika urusan formalitasnya telah sah dan sesuai. Di Pesantren Darussalam, secara spesifik Jokowi menjanjikan akan membangun rusun tiga lantai yang dikhususkan untuk tempat tinggal santri.

Lagipula, NU dalam sejarahnya memang selalu menjadi ormas yang hampir tak pernah bertentangan dengan pemerintah. Keberadaannya, jika tidak dibilang “mendukung” pemerintah terkadang malah bersiap oportunistik, mencari celah keuntungan yang bisa dimanfaatkan. Kaidah-kaidah ushuliyyah yang sejauh ini dipedomani oleh NU, sedikit banyak telah merubah cara pandang NU terhadap dunia politik. Sebut saja ada kaidah, “al-muhafdzatu ‘ala qodim al-sholih wal akhdzu bil jadid al-ashlah” (mempertahantan tradisi yang sudah baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Kaidah ini berimplikasi pada sikap politik NU yang moderat dan luwes terhadap kekuasaan karena kekuasaan dianggap sebagai bagian dari “tradisi baik” yang harus dijaga dan dipertahankan. Melawan kekuasaan sama dengan melanggar tradisi dan itu justru menjadi hal tabu di tubuh NU.

Saya kira tepat, jika diasumsikan ada Jokowi dibalik NU yang kurang lebih mirip jika merunut pada sebuah adagium, “Ada udang di balik batu” yang dalam pengertian juga kurang lebih sama, bahwa safari Jokowi ke pesantren-pesantren NU di seluruh Pulau Jawa adalah tak lepas dari upaya pencitraan politiknya untuk kontestasi nasional 2019. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun