Wacana kenaikan harga rokok yang kisarannya bisa mencapai 150 persen lebih mendadak menjadi isu ramai dalam masyarakat Indonesia. Belum juga disetujui pemerintah, namun beragam variasi harga rokok sudah ramai dibahas di media sosial. Pro-kontra mengenai kenaikan harga rokok sebenarnya dipicu oleh hasil survey yang dilakukan oleh Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dimana mereka melakukan survey kepada 1000 responden dengan hasil 72 persen responden akan berhenti merokok kalau harga sebungkus rokok diatas Rp 50 ribu.
Hasil penelitian ini semakin diperkuat oleh kenyataan bahwa Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data bahwa pemicu kemiskinan di rumah tangga miskin adalah beras dan rokok. Berarti ada dua produk yang memperlihatkan daya beli masyarakat miskin semakin tidak terjangkau, yaitu beras dan rokok tentunya. Logikanya adalah seharusnya harga beras diturunkan dan juga harga rokok diturunkan, karena keduanya merupakan pemicu kemiskinan.
Persoalan mengenai bisnis rokok, khususnya kretek di Indonesia, semakin menjadi incaran banyak pihak yang tergiur dengan murahnya harga tembakau di Indonesia. Sehingga kemudian muncul desakan untuk meratifikasi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC), padahal saat itu DPR sedang menggodok RUU Pertembakauan dengan tujuan memberikan perlindungan terhadap hak-hak petani tembakau di Indonesia.
Sebagai informasi, bahwa industri rokok di Indonesia menyerap kurang lebih 6 juta tenaga kerja dengan kontribusi terhadap negara mencapai Rp 139,5 trilyun setiap tahunnya sebagai penerimaan cukai negara. Mengingat serapan tenaga kerja dalam industri tembakau cukup besar, maka Komisi IV DPR yang memiliki kepentingan melindungi para petani tembakau akan mensahkan RUU Pertembakauan yang sudah masuk dalam Prolegnas.
Salah satu anggota Komisi IV DPR dan juga Wakil Ketua Baleg DPR, Firman Soebagyo justru menganggap wacana kenaikan harga rokok hingga Rp 50 ribu adalah hal yang tidak rasional. Firman yang merupakan anggota DPR asal Jawa Tengah adalah orang yang terlibat langsung dalam penyusunan draft RUU Pertembakauan yang masih belum selesai dibahas di DPR. Firman menilai, bahwa ada stake holders berkepentingan dengan aksesi FCTC di Indonesia yang berimbas kepada wacana kenaikan harga rokok di Indonesia.
Politisi Gaek Partai Golkar ini menyetir tulisan Wanda Hamilton dalam bukunya Nicotine War bahwa perdebatan soal rokok maupun produk tembakau bukan sekadar argumentasi teknis medis yang bebas nilai, tentang sehat dan tidak sehat. Tetapi lebih mengacu kepada bisnis korporasi dalam skala besar yang dimainkan oleh pihak asing. Beberapa kali saya bertemu dengan anggota DPR ini karena beliau adalah salah satu klien saya dalam bidang Teknologi Informasi. Firman bukanlah seorang perokok, tetapi dia lebih rasional dalam memikirkan beragam dampak sosial yang akan terjadi jika harga rokok betul-betul jadi dinaikkan.
Pro kontra mengenai rokok saya kira tetap akan menjadi polemik di masyarakat, antara mereka yang “tidak suka” rokok dengan mereka yang “suka” dengan rokok. Bahkan mungkin ada sekelompok masyarakat yang “dapat menerima” baik bagi mereka yang suka merokok atau tidak suka merokok.
Namun demikian, setiap gerakan yang mendorong atau mengkampanyekan anti rokok semestinya juga dianggap sebagai sebuah “kepentingan” yang ada dibelakang gencarnya gerakan tersebut. Namun yang jelas, bahwa kenaikan harga rokok yang saat ini ramai diwacanakan oleh publik harus juga disikapi dengan bijak dalam melihat dampak sosial kenaikan harga tersebut. Kerena walau bagaimanapun, kenaikan harga rokok pasti akan berimbas terhadap mata rantai industri kretek di Indonesia, terutama mereka yang bekerja didalam sektor-sektor industri rokok.
Bagi saya, persoalan rokok pada akhirnya tidak berhenti pada persoalan suka atau tidaknya, karena berbagai alasan, termasuk kesehatan, tetapi rokok sebagai industri yang cukup besar di Indonesia justru dimanfaatkan sebagai peluang bisnis asing untuk memonopoli industri rokok di seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Mungkin secara sederhana kita bisa membayangkan, ketika industri rokok gulung tikar di Indonesia, para petani dan buruhnya kehilangan pekerjaan dan mereka “dipaksa” untuk mengganti tanaman tembakaunya dengan tanaman lain, maka yang terjadi justru masalah sosial yang semakin besar. Dengan demikian, industri rokok asing kemudian lebih mudah memonopoli harga rokok di pasaran dan mereka akan memperoleh keuntungan paling besar dan rakyat Indonesia justru kehilangan warisan budayanya, yaitu “tembakau”.
“Perang” argumentasi mengenai rokok bahkan saat ini sudah berada pada wilayah moral keagamaan, dimana ada sekelompok umat Islam yang sepakat memfatwakan bahwa merokok adalah perbuatan “haram” yang secara tidak langsung memiliki konsekuensi eskatologis bahwa para perokok akan dihukum di neraka karena perbuatan haram yang dilakukannya. Anehnya, fatwa pengharaman rokok justru keluar baru-baru ini, padahal rokok sudah ada di Indonesia ratusan tahun yang lalu.