Orang banyak menyangka Nusantara merupakan satu kesatuan politik dibawah kontrol satu kekuasaan kerajaan, ternyata tidak. Kita bisa melihat betapa banyaknya komplek candi dan prasasti bertebaran di seluruh penjuru pulau Jawa, padahal kerajaan terbesar Majapahit berada di antara reruntuhan desa Trowulan yang semestinya terpusat disana.Â
Belum kekuasaan Sumatera dan Bali yang hampir menunjukkan polisentris dalam kekuasaan Nusantara dan tidak lagi dualistik. Maka tak mengherankan, para sejarawan pada waktu itu merupakan korban "persekongkolan jahat" yang terdiri dari para filosof Cina atau India Kuno, serta penyalin naskah-naskah resmi yang menyembunyikan kebenaran sejarah.
Wabah Corona yang menjadi kecemasan masyarakat modern (modern risk society) ditanggapi secara beragam oleh masyarakat Indonesia dan barangkali terdapat keunikan tersendiri mengingan Indonesia merupakan cermin masyarakat religius sejak zaman dahulunya.Â
Sekalipun wabah ini telah terbukti secara empirik dan penyebarannya sangat rasional, tetapi tanggapan-tanggapan bersifat teologis bahkan mistis tetap muncul sebagai cara pandang alternatif, sebagai upaya mendukung kebijakan negara atau yang menolaknya.Â
Uniknya, kita seolah kembali ke masa-masa perdebatan awal pemikiran Islam antara ortodoks dan heterodoks, antara penganut klaim "ahlu sunnah" dan "ahlu bidah" yang saling bertentangan secara kontradiktif.Â
Yang "bidah" malah sekarang muncul sebagai "sunah" bahkan sebaliknya demi kepentingan kelompoknya masing-masing, bukan demi kepentingan kemaslahatan bersama. Kita dikejutkan oleh munculnya "pembenaran" teologis yang didukung ayat-ayat al-Quran maupun hadis, sekalipun pada awalnya mereka bukanlah kalangan literalis atau tekstualis pengikut setia Ibnu Taimiyyah, tetapi yang mereka sodorkan adalah teks-teks keagamaan yang digali dan dicari untuk sekadar mendukung klaim kebenaran penguasa.
Saya cenderung menghindar untuk memunculkan aspek teologis tertentu dalam membaca situasi yang mencekam saat ini, kecuali hal-hal tertentu yang mengingatkan pada "siapa kita" sebelum isu menakutkan ini melanda Nusantara.Â
Nenek moyang kita yang hidup ratusan tahun yang lalu sudah terbiasa dengan pluralisme dan hampir-hampir tak ada satu kekuatan politik besar yang dapat mendikte keseluruhan masyarakat Nusantara.Â
Kita juga tak perlu heran ketika ada dua kerajaan di Nusantara yang bersumpah untuk saling memusuhi, tetapi di sisi lain saling menasihati tentang aktivitas orang-orang Eropa yang yang dapat mengancam kesejahteraan wilayahnya masing-masing.Â
Inilah yang sejak dahulu membuat orang-orang Eropa bingung, padahal mereka telah sejak lama menginginkan Nusantara ini bercorak monarki sebagaimana ajaran politik yang diperkenalkan pada waktu itu kepada para raja Nusantara. Dulu orang Eropa kebingungan terhadap Nusantara, sekarang justru terbalik, kita dibingungkan oleh orang-orang Eropa dan Nusantara kebingungan.
Sedikit sebuah catatan yang saya kutip dari sejarawan asing yang meneliti tentang Indonesia: