Mungkin tidak berlebihan jika sejauh ini hadis Rasulullah yang menyebut akan datang suatu tanda-tanda perubahan atau pembaruan setelah melewati masa 200 tahun, merujuk pada orang-orang tertentu yang memiliki kontribusi luar biasa mengagumkan terhadap perkembangan peradaban Islam. Hadis yang dimaksud dengan redaksi, "al-ytu ba'da al-miatayni" tentu saja dhaif (lemah secara periwayatan) bahkan ada yang menilainya palsu (maudlu'). Namun demikian, hadis diatas banyak didukung hadis lainnya dengan makna hampir serupa, sebagaimana dijelaskan secara terperinci oleh  sejarawan Muslim, Ibnu Katsir dalam karyanya, "al-Bidayah wa al-Nihayah" (Permulaan dan Penutupan).
Dalam karya klasiknya tentang sejarah Islam, Ibnu Katsir banyak mengutip hadis-hadis lemah secara transmisi intelektual (sanad), karena realitas sejarah, tentu saja berdasarkan tradisi oral-aural (melafalkan dan mendengarkan) yang disampaikan dari generasi ke generasi. Menghadirkan suatu realitas sejarah masa lalu yang demikian otentik dan konkret, tentu saja tak mungkin di lakukan, kecuali menganalisanya melalui pendekatan analisis-historis yang kemudian dikembangkan oleh para sejarawan di masa-masa berikutnya, kendatipun hampir tak pernah memuaskan hasilnya. Sejarah Islam di Indonesia misalnya, sejauh ini hampir diselimuti kabut tipis, dimana seringkali ditemukan hal-hal tertentu yang sengaja disembunyikan para sejarawan dengan alasan-alasan tertentu terkait dengan kepentingan-kepentingan kekuasaan.
Merujuk pada sebuah hadis yang menyebut akan munculnya sosok-sosok cerdas dan mengagumkan yang disebut dalam masa kurun waktu setiap 200 tahun, Indonesia sepertinya memiliki bukti cukup kuat  dimana lahir para ulama dalam kurun masa tersebut sebagai agen perubahan sosial. Paling tidak, dalam rentang waktu sebagaimana dimaksud, muncul sederet nama ulama yang memiliki pengaruh cukup besar dalam suatu perubahan sosial dan politik. Dimulai dari Hamzah Fansuri, seorang ulama yang hidup di awal abad ke-15, dianggap sebagai titik awal kemajuan peradaban Islam di Nusantara, melalui bidang kesusasteraan yang sangat dihormati di dunia Islam. Tiga abad berikutnya---pada akhir abad ke-18---muncul Syekh Nawawi Banten dengan reputasi setara Fansuri dan dua abad berikutnya---awal abad ke-20---muncul Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Ketiga sosok ulama ini memiliki beberapa kesamaan, sekalipun dalam konteks sosial-politik pasti terdapat pula perbedaan. Hamzah adalah ulama kelahiran Barus---daerah sekitar Sumatera Utara---yang hidup pada sekitar abad ke-15. Karena kecakapannya dalam penguasaan berbagai ilmu keislaman, para pedagang Barus---daerah ini terkenal sebagai eksportir minyak wangi Barus yang disukai para pangeran dan bangsawan Arab---mengajaknya dalam suatu perjalanan bisnis ke Hijaz. Sudah menjadi suatu tradisi, dimana ulama dilibatkan dalam perdagangan sebagai penghormatan, selain juga menjadi amal jariyah bagi mereka, juga sekaligus dalam rangka berkelana untuk memperluas khazanah ilmu keagamaannya langsung dari sumbernya, yaitu Mekah dan Madinah.
Kehidupan Hamzah Fansuri tentu saja tidak banyak diungkap, karena memang tradisi kesusasteraan di Nusantara baru dimulai di abad ke-16 dan ke-17, melalui serangkaian penulisan serat maupun babad. Karya-karya Fansuri kemungkinan ditulis ulang oleh murid-muridnya sendiri. Namun demikian, kemunculan Hamzah Fansuri di Barus, semakin menguatkan bahwa Islam di Indonesia sudah hadir di bumi Nusantara jauh sebelum abad ke-15. Hal ini dibuktikan oleh upaya para arkeolog yang melakukan penelitian di Barus sejak 1998-2003. Menurut laporan Zamakhsyari Dhofier dalam bukunya, "Tradisi Pesantren", jejak arkeologis tersebut telah berhasil mengungkap komplek pekuburan yang berasal dari abad ke-14 dan awal abad ke-15 dengan inskripsi di batu nisan tertera nama-nama syekh yang telah mengajar, bermukim, dan mendirikan berbagai pusat pendidikan Islam.
Jejak Hamzah Fansuri sendiri justru tak ditemukan di Barus---kecuali beberapa manuskripnya yang dibawa dan dipelajari oleh para pelancong dari Eropa---sehingga untuk mengungkap lebih jauh bagaimana kehidupan dirinya lebih sering bernuansa kontemplatif dari pada deskriptif-historis. G.W.J. Drewes dalam sebuah artikelnya, "Indonesia: Mistisisme dan Aktivisme" secara lebih kontemplatif menyebut Hamzah Fansuri bersama tiga serangkai lainnya, Syamsuddin al-Sumatrani, Nuruddin al-Raniri dan Abdurrauf al-Singkili sebagai tokoh-tokoh mengesankan yang dibaca dalam ruang pemikiran keislaman yang bercorak mistik. Fansuri, dalam pandangan Drewes, merupakan ulama yang menganut paham monisme Ibnu al-'Arabi yang seringkali dianggap kontroversial bahkan menyimpang (bid'ah) dalam tradisi masyarakat Muslim waktu itu.
Sangat masuk akal, jika Fansuri kemudian lebih memilih untuk bergabung dengan para pedagang Barus untuk ikut serta berniaga ke Hijaz dan hidup sebagai ulama besar dan budayawan agung yang sangat dihormati disana. Nisannya ditemukan di Bab al-Ma'la, pekuburan yang ada di sebelah timur Masjid al-Haram, Mekah, melalui suatu penyalinan inskripsi di tahun 1934 dimana tertulis pada nisan yang ditemukan disana, "hadza qabru al-faqiri ila allahi ta'ala sayyidina syekh al-'abid an-nasik az-zahid as-syaikhi al-murabithi mi'dani al-haqiqati as-syaikh hamzah ibni 'abdillahi al-fanshuri.." (ini adalah kuburan hamba Allah ta'ala Sayyidina Syekh, Pengabdi, Penyembah Allah, sangat zuhud, pejuang perbatasan yang penuh tekad, tambang hakikat Ilahi, Syekh Hamzah bin Abdillah al-Fansuri).
Penolakan atas ajaran-ajaran mistisisme Ibnu al-'Arabi di masa Fansuri masih hidup, tentu saja menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam telah secara luas diterima masyarakat dengan corak ajaran yang berpegang teguh pada aspek ortodoksi---sebagaimana diketahui puncak kejayaan Turki Usmani yang Sunni juga di abad-abad 15 dan 16---terlebih muncul dukungan dari ulama-ulama istana kerajaan Aceh setelah itu, seperti Nuruddun ar-Raniri dan Abdurrauf as-Singkili, yang ikut andil memberangus ajaran-ajaran mistisisme Islam yang dibawa Fansuri dan muridnya Syamsuddin. Namun demikian, karya-karya Hamzah Fansuri tetap menjadi cikal-bakal peradaban modern Islam di Nusantara, kendatipun pujangga besar ini lebih dikenal dan dihormati di luar tempat asalnya sendiri.
Dua abad kemudian, lahir seorang ulama moderat ditengah kuatnya cengkaraman kolonialisme yang pada waktu itu iklim "Tanam Paksa" masih berlaku di Hindia-Belanda, Nawawi bin Umar atau Syekh Nawawi Banten. Sama dengan Fansuri, Nawawi sepertinya tidak begitu banyak diungkap sejarah, kecuali cerita naratif Snouck Hurgronje yang bertemu dengannya ketika berkunjung ke Mekah pada sekitar 1885. Nawawi tentu saja tipikal ulama pemikir dan penulis, sehingga lebih dari puluhan karyanya dalam bahasa Arab dalam bentuk komentar-komentar (syarh) atas kitab-kitab ulama pendahulunya, berpengaruh besar terhadap tradisi intelektual di tanah air. Seperti halnya Fansuri, Nawawi lebih memilih tinggal di Mekah dan tidak kembali ke Indonesia, namun tradisi pesantren yang diadopsinya, tetap menjadi tradisi intelektual yang dikembangkan selama dirinya tinggal di Mekah. Murid-murid Nawawi tentu saja mayoritas berasal dari Indonesia dan cara penyampaian dalam beragam karya tulisnya, identik dengan kultur masyarakat Nusantara, baik dalam soal akhlak, tasawuf, fikih, bahkan ketika ia menulis karya orisinalnya, Tafsir Marah Labid.
Nawawi merupakan contoh bagi ulama moderat di zamannya yang tampak terlalu berhati-hati dalam merespon situasi sosial-politik di negerinya. Pilihannya untuk bermukim di Tanah Suci, tentu saja respon ketidaksetujuannya atas keberadaan pemerintah kolonial yang kafir dan para penguasa lokal yang tenggelam dalam budaya feodalistik akibat kolonialisme. Nawawi, tidak saja sosok ulama yang disegani dan dihormati di negerinya sendiri, namun lebih dari itu, gelar "sayyid ulama al-Hijaz" yang melekat dalam dirinya, tentu saja bukti pengakuan masyarakat atas keluasan pengetahuannya tentang Islam. Sulit untuk tidak dikatakan, bahwa seluruh genealogi intelektual keulamaan di abad ke -19 di Nusantara selalu menyebutkan nama Nawawi di dalamnya. Ini menunjukkan, Nawawi memiliki pengaruh signifikan dalam pembentukan peradaban Islam di Nusantara.
Dua abad sepeninggal Nawawi, Indonesia dikejutkan oleh letupan-letupan pemikiran seorang ulama pesantren, cucu seorang ulama besar pendiri organisasi Islam terbesar, Nahdlatul Ulama, bernama Abdurrahman Wahid. Sosok penulis dan pemikir yang lebih dikenal dengan panggilan "Gus Dur" ini, tentu saja banyak dinilai oleh banyak pihak sebagai tokoh pembaharu di kalangan intelektual Muslim dengan gaya-gayanya yang khas dan nyeleneh. Gus Dur telah banyak mewarnai perkembangan kemajuan pemikiran Islam yang berdampak pada perubahan sosial-politik dalam masyarakat Indonesia. Sekalipun sosok ini dinilai kontroversial---karena pemikiran-pemikirannya sulit diterima bahkan seolah melompat jauh melampaui zamannya---namun kontribusinya dalam perkembangan peradaban Islam di Nusantara tak mungkin dapat disangsikan. Gus Dur  mencoba meramu tradisi intelektual Barat dengan tradisi pemikiran "lokal", sehingga membentuk sebuah corak berpikir yang orisinal, gaya "tradisionalisme-radikal", dimana pijakan tradisionalisme sebagai akar budayanya tetap kokoh, namun selalu dikontekstualisasikan di alam pemikiran modern saat itu.