Diantara satu dari sekian tradisi yang hidup dalam masyarakat Indonesia yang memiliki nilai historis-sosiologis adalah halalbihalal. Istilah ini telah divernakularisasikan ke dalam bahasa lokal dan diserap kedalam bahasa Indonesia, dimana hal maaf memaafkan tidak lagi bersifat seremonial tetapi melekat dalam benak masyarakat Nusantara sebagai nilai keagamaan sekaligus kebudayaan.Â
Tradisi saling memaafkan dalam nuansa massal, hampir sulit ditemukan dalam budaya masyarakat manapun, terkecuali hanya di Indonesia. Wajar, jika kemudian halalbihalal identik dengan suasana humanis yang sedemikian kental, dibalut nilai-nilai moral-keagamaan yang memang telah terserap sedemikian kuat dalam batin masyarakat Nusantara.
Bangsa Indonesia identik dengan masyarakat agamis, bahkan suasana keagamaan tampak hidup dalam jalinan ikatan solidaritas lintas keyakinan dan keagamaan. Kearifan lokal yang senantiasa hidup, seolah membuktikan resepsi yang demikian cair diantara masyarakat Nusantara dengan nilai-nilai moral yang berasal dari ajaran-ajaran keagamaannya.Â
Islam, yang telah lama menjadi bagian terpenting dalam realitas keagamaan masyarakat, nilai-nilai moralnya tampak berkesesuaian dengan kepribadian mereka. Betapa banyak tradisi dan kearifan lokal yang tetap hidup dalam masyarakat, tanpa dipertentangkan sama sekali dengan keyakinan agama yang mereka anut. Tradisi halalbihalal, menjadi bukti tradisi lokal yang hidup dalam suasana kesatuan dan persatuan.
Tradisi halalbihalal tentu saja memiliki nuansa khas lokal Indonesia yang digali dari nilai-nilai ajaran Islam, terutama makna "maaf" yang diambil dari kitab suci Alquran.
 Banyak catatan sejarah yang berhasil mengungkap, dimana tradisi ini dipopulerkan oleh kalangan ulama Nusantara yang tentu saja memahami suasana batin masyarakatnya.Â
Bagi saya, halalbihalal tak sekadar tradisi seremonial tahunan yang digelar selepas Idul Fitri, namun lebih jauh, ia menjadi potret keberislaman dalam bingkai kultur kebangsaan yang begitu erat. Budaya saling memaafkan tidak saja mendarah daging dalam realitas kultur, namun juga aktualisasi dari nilai-nilai keagamaan yang luhur.
Bagaimana tidak, istilah "maaf" yang terambil dari akar kata bahasa Arab "'afw" memiliki derivasi makna yang luas baik secara teologis maupun sosiologis. Ketika Alquran memotret kepribadian Nabi Muhammad sebagai sosok penyayang dan lemah lembut karena hatinya ditanamkan rahmat Tuhan (fa bimaa rahmatin min allaha linta lahum), Nabi juga digambarkan memiliki kepribadian yang mulia, sebagai pemaaf sekaligus perantara secara teologis yang mendoakan setiap orang yang dimaafkan agar diampuni dosa-dosanya oleh Tuhan (fa'fu 'anhun wa as-taghfirlahum). Ternyata, maaf saja tidak cukup, sebab Alquran ketika menyebut kata "maaf" selalu dikaitkan dengan hal lainnya yang lebih bernilai historis-sosiologis.
Kata "maaf" yang terambil dari kata bahasa Arab "ma'fu" memiliki konotasi "seseorang telah terbebas dari segala akibat yang sebelumnya terikat dalam hukum-hukum kemanusiaan".
 Itulah sebabnya, kamus Lisanu al-'Arab mendefinisikan kata "'Afw" dengan "wa kullu man istahaqqa 'uquubah fa taraktaha fa qad 'afawta 'anhu" (segala hal yang sebelumnya memiliki akibat secara hukum kemudian dibebaskan, maka ia telah dimaafkan dan terlepas dari segala hukuman).Â
Seseorang yang telah dimaafkan, ibarat angin yang menghapuskan debu yang melekat pada sesuatu. Debu merupakan "konsekuensi hukum" yang sebelumnya menempel dalam diri seseorang, lalu ia dibebaskan dari segala hal terkait hukuman yang melekat karena kesalahan dirinya.