Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Lebaran dan Tradisi Kebajikan

7 Juni 2019   20:39 Diperbarui: 7 Juni 2019   20:44 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sulit rasanya menghadirkan suatu kebajikan bersama secara masif dan terstruktur, kecuali ada dalam momentum lebaran. Ramainya ungkapan saling memaafkan yang begitu indah dan menggembirakan seolah menyemai benih kehidupan dalam ladang-ladang humanis yang menyejukkan. Disinilah makna kebajikan (al-birr) itu mewujud dalam bingkai tradisi Islam di Nusantara.

Kebajikan memang tidak identik dengan "kebaktian" sebagaimana sindiran Alquran, dimana kebajikan bukanlah menghadapkan wajah ke Timur maupun ke Barat. Anda boleh berkiblat ke Timur dengan segala anggapan fanatisme-teologis, atau ke Barat dengan kejumudan-rasionalis, namun itu semua tak dianggap sebagai kebajikan sedikitpun.

Dalam narasi lebih sederhana, Nabi Muhammad menyimpulkan bahwa "kebajikan adalah budi pekerti yang luhur (husnul khuluq)", seolah menegaskan bahwa kebajikan lebih bernuansa kultural dan sosial, tidak dalam konteks teologis yang melangit. Itulah sebabnya, Alquran menyebut kebajikan adalah iman yang aktualisasinya adalah membagikan harta yang dicintai (wa ata al-maala 'ala hubbihi) kepada kerabat, orang-orang lemah yang secara ekonomi membutuhkan bantuan.

Jika Lebaran atau Idul Fitri dimaknai secara sosiologis sebagai momentum "husnul khuluq" dimana kebersamaan, persatuan, dan tradisi baik seperti membagikan THR kepada sanak kerabat, fakir miskin, dan mereka yang 'lemah',  maka hampir tak ada momentum kebajikan lain, kecuali kita temukan di Hari Lebaran.

Hanya di Nusantara, dimana setiap muslimnya mampu meneladani dan mengaktualisasikan kalimat tersurat dalam Alquran, "laisa al-birra an tuwalluu wujuuhakum qibala al-masriqi wa al-maghribi..", disadari maupun tidak. Nilai-nilai kebajikan yang tidak melulu "kebaktian" tetap hidup dalam suasana batin masyarakatnya. Jikapun ada momentum yang sama dalam hal kebajikan dalam masyarakat muslim lainnya, namun rasa-rasanya tidak terkalibrasi secara kosmopolit sebagaimana dalam tradisi masyarakat Indonesia.

Iman dalam arti sebenar-benarnya (ulaaika al-ladziina shadaquu) jelas memiliki titik tekan sosiologis bukan teologis. Iman bukan sebatas 'membenarkan' tetapi bagaimana ia teraktualisasikan dalam kehidupan sosial secara nyata. Kebajikan adalah ahklak, bagaimana kekuatan iman dalam hati membumi, bukan malah melangit yang pada akhirnya bumi sebagai pijakannya dilupakan bahkan diabaikan.

Lebaran bermakna kebajikan secara sosial dalam dimensi paling luas dan dapat ditemukan akarnya dalam tradisi masyarakat Nusantara. Mereka berbagi dalam ruang-ruang ikatan sosial antara sesamanya, bertoleransi dalam realitas sebenarnya, aktualisasi nilai-nilai teologis dalam ranah sosial yang paling aktual. Itulah Islam yang mewujud dalam suasana kultural, meresap dalam batin masyarakat Indonesia yang sulit kita temukan dalam tradisi masyarakat muslim lainnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun