Jika suatu kesatuan politik senantiasa mencari kambing hitam, maka menarik ketika kita melihat Islam politik di Indonesia pasca suksesi nasional ini.Â
Sekalipun kenyataan politik belakangan tampak begitu sengit dalam mempropagandakan kemenangan-kemenangan dalam hal suksesi politik nasional, namun sepertinya ada upaya pengkambing hitaman yang sedemikian massif yang digelorakan oleh "umat Islam", yaitu kecurangan dalam hal perhitungan suara.Â
Saya menyebut "umat Islam" karena sejatinya kelompok inilah yang dirasa menonjol dalam berbagai lini media konvensional terlebih media sosial. Mereka yang kerap diasosikan sebagai kelompok "fundamentalis" seolah juga dijadikan kambing hitam oleh sementara kalangan demi meyakinkan kebenaran-kebanaran klaim politis mereka.
Politik Indonesia pasca suksesi nasional seolah mempertontonkan klaim kambing hitam yang pada akhirnya dapat menjadi ajang persatuan bagi masing-masing kelompok, dan "umat Islam" tentu saja paling mendominasi dalam konteks perebutan wacana politik saat ini.Â
Saya sendiri cenderung meyakini, bahwa pertarungan dalam mencari kambing hitam akan terus berlanjut, bahkan selepas ketetapan siapa yang memenangkan ajang kontestasi politik lima tahunan ini.Â
Bukan tidak mungkin, isu-isu komunisme, tenaga kerja asing, liberalisme, dan fundamentalisme akan selalu mewarnai diskursif kepolitikan di negeri ini. Itulah barangkali, "personifikasi" kambing hitam yang sengaja dipersiapkan dalam rangka menyatukan berbagai kekuatan politik yang ada.
Tak perlu heran atau bertanya-tanya soal mengapa agama seringkali menjadi "skenario religius" dalam berbagai persoalan politik, khususnya di Indonesia. Jauh-jauh hari, Bapak Ilmu Perbandingan Agama, Abdulfatah Muhammad bin Abdul Karim asy-Syahrastani (1077-1153) dalam suatu karyanya "al-Milal wa an-Nihal" mengeluhkan bahwa "semua pertikaian dan fitnah dalam bidang agama dimulai dari bidang politik".Â
Sekalipun zaman berubah, toh pertikaian dan persaingan politik seringkali timbul oleh gesekan-gesekan "ideologis" yang pada akhirnya menimbulkan semangat keagamaan dengan menghadirkan sebuah kambing hitam dalam konstelasi politik.Â
Dalam internal muslim Indonesia sendiri, "fundamentalisme" yang dituduhkan kepada para pengikut Wahabi pernah menjadi kambing hitam yang menjadikan kelompok tradisionalis bersatu membendungnya.
Hasil akhir dari suatu kontestasi politik nasional, tentu saja bagaimana caranya mereka mencari kambing hitam yang pada akhirnya sedikit banyak akan mempengaruhi siapa pada akhirnya yang "secara politis" memenangkan ajang kontestasi.Â
Pertarungan mencari kambing hitam ini begitu sangat dirasakan, terutama dalam ruang-ruang non verbal di media sosial. Bukan tidak mungkin, bahwa media-media Barat juga tampaknya memiliki kepentingan atas suksesi politik di negeri ini dengan tidak mendukung kalangan "fundamentalis" yang sejauh ini dipersepsikan mereka.Â