Salah satu tema yang selalu menarik untuk didiskusikan adalah persinggungan budaya dan agama, di mana Indonesia merupakan wujud paling nyata dalam konteks paling reseptif ini. Menariknya, banyak basis utama paradigma berpikir Jawa yang secara tidak langsung mengambil dari semangat kitab suci yang berasal dari agama Islam, yaitu Alquran.Â
Diakui maupun tidak, dialektika budaya lokal dengan Islam ternyata telah lama mewarnai nalar keagamaan yang diaktualisasikan oleh para ulama Nusantara yang mewujud dalam berbagai khazanah keislaman. Banyak kitab tafsir Alquran yang ditulis dalam bahasa Jawa atau Melayu yang tersebar sepanjang abad 17, ditengah kecamuk perang saudara dan hegemoni Belanda atas Nusantara.
Untuk sekadar menunjukkan, betapa budaya Jawa itu cukup kuat dalam mempengaruhi khazanah keislaman, mungkin dapat dilihat dari penerimaan atas suatu paradigma,"Jawa Digawa, Arab Digarab, dan Barat Diruwat".Â
Memahami diksi ketiganya akan lebih mudah dalam hal memahami, bagaimana semangat para ulama dalam menafsirkan Alquran atau menulis berbagai ulasan keagamaan Islam yang begitu lekat dengan nuansa budaya lokal. Diksi "Jawa digawa", berarti memberitahukan bahwa kapanpun, dimanapun, budi pekerti itu harus lebih diutamakan, sebab "Jawa" disini lebih berkonotasi "subosito" atau "tatakrama".
Diksi kedua yang menyebut, "Arab digarab" sepertinya lebih memperkuat aksen Islam dalam kultur masyarakat, sebab Islam yang berasal dari Arab jelas dianggap bagian dari semangat bermasyarakat, berbudaya, dan juga beragama.Â
Dengan diksi "digarab" berarti Arab tidak diterima begitu saja, namun perlu dipahami, diteliti, dan disesuaikan mana yang hanya bersifat budaya dan mana yang dinilai sebagai ajaran agama.Â
Tak jauh berbeda, ketika muncul diksi berikutnya, "Barat diruwat", seolah-olah ada penekanan bahwa budaya Barat itu budaya impor, sehingga penerimaan atas budaya luar itu harus melewati berbagai "filtering" terlebih dahulu, "dibersihkan" dari unsur-unsur negatif yang melekat didalamnya.
Masyarakat Nusantara sejak awalnya merupakan masyarakat yang telah memiliki peradaban tinggi, bukan tipikal masyarakat nomaden yang berubah-ubah. Basis utama masyarakat Jawa adalah berkumpul, toleransi, saling menghormati, dan menghargai nilai-nilai tradisi yang sedemikian kuat.Â
Budaya lokalnya ibarat suatu wadah besar yang sedemikian cair dan siap menerima berbagai nilai, tradisi, atau budaya yang berasal dari luar. Itulah sebabnya, di abad ke-18, seorang ideolog dan konseptor ulung, Raden Mas Said atau Pangeran Mangkunagara I atau yang lebih dikenal dengan julukan Pangeran Samber Nyawa, telah merumuskan bentuk akuturasi Islam-Jawa dengan paradigmanya yang sedemikian dikenal.
Pangeran Samber Nyawa mencipta suatu adagium, "Rumangsa Melu Handarbeni" (Berani mawas diri); "Wajib Melu Angrungkebi" (Merasa ikut memiliki); dan "Mulat Sarira Hangrasa Wani" (Selalu bermuhasabah/menilai diri sendiri terlebih dahulu sebelum menilai pihak lain).Â
Pangeran yang kemudian sering membuka kelas-kelas khusus untuk mendiskusikan persinggungan agama dan budaya dengan para tokoh masyarakat dan agama, melahirkan seorang ulama keraton yang menulis tafsir Alquran dengan bahasa Jawa pada 1923, yaitu Kanjeng Raden Penghulu Tafsir Anom V yang karyanya sampai saat ini tersimpan baik di Musium Sonobudoyo, Yogyakarta.