Melihat beredarnya tabloid dengan tagline "Membumikan Islam Rahmatan Lil'alamin" yang saat ini masih menjadi teka-teki, seolah memberikan kesan bahwa umat Islam memang secara faktual "terbelah" secara politik. Umat Islam tentu saja selalu menjadi rebutan para kontestan dalam setiap kompetisi politik, terlebih dalam ajang Pilpres.
Penyebaran tabloid ini yang khusus ditujukan ke masjid-masjid dan pesantren yang notabene berada di wilayah rural, tentu saja bentuk kampanye politik dengan mengatasnamakan agama, seolah-olah dengan memilih salah satu kontestan tertentu negeri ini akan diliputi keberkahan dari Tuhan.
Komoditas agama yang dijadikan alat bagi kepentingan politik, ternyata marak dan bahkan mungkin menjadi bisnis politik yang paling menggiurkan. Islam utamanya, terus mendominasi panggung politik, dibuat sedemikian rupa dengan berbagai cara agar dapat diterima dalam ruang publik.Â
Simbol-simbol keislaman semakin marak, dimodifikasi agar semakin menarik dan dipercaya publik bahwa perjuangan politik adalah perjuangan dalam agama itu sendiri. Tak hanya Islam sebagai entitas keyakinan yang suci dan sakral namun diobral, ormas-ormas Islam-pun seolah tampak menunjukkan ke mana arah dukungan politik mereka sebenarnya.
Tabloid 'Indonesia Barokah' seolah bagian dari komoditas agama yang diperalat bagi kepentingan politik, tanpa harus sibuk mempertanyakan siapa, dari mana, dan apa motif dibelakang penyebarannya. Tabloid ini tetap menjadi misteri dan tanpa mampu ditahan, membanjiri wilayah kantong-kantong suara yang dianggap potensial menjelang pemilu.
Seolah menjadi 'buku panduan' berpolitik---dibaca ataupun tidak oleh penerimanya---namun yang pasti, setiap pilihan politik pada akhirnya berpengaruh pada nilai-nilai keagamaan. Dengan memberinya nama 'Indonesia Barokah" saja, memang secara sadar mencatut istilah Islami agar menarik minat pembaca muslim yang tak paham politik-kekuasaan.
Keberadaan tabloid yang menjadi "komoditas astral" politik ini, mau tidak mau melahirkan drama politik di tingkat elit, saling tuding dan hujat soal siapa otak dibelakang penyebarannya. Tak ada pihak yang mampu menjelaskan, kenapa ribuan eksemplar tabloid ini terus "bergentayangan" ditengah semakin dekatnya ajang kontestasi politik nasional.
Memang, tak perlu dibesar-besarkan soal tabloid ini, sekalipun kontennya dianggap merugikan salah satu kandidat tertentu. Namun yang menjadi pertanyaan, "Crazy Rich" mana lagi yang dengan sombongnya menggelontorkan dana yang tidak sedikit untuk penulisan, pencetakan, pengiriman, dan distribusi ribuan tabloid ini.
Pilpres memang selalu saja membuat kejutan, sekalipun kejutan di Pilpres 2019 ini cukup menegangkan bahkan menjengkelkan. Menegangkan karena hanya dua kandidat calon yang berkompetisi sehingga tak ada lagi pilihan lain kecuali menjadi "golongan putus asa" (golput). Menjengkelkan, karena maraknya narasi Islam yang terus dijadikan komoditas politik, sehingga pada tingkat tertentu secara faktual rentan memecah belah umatnya sendiri. Tak semua umat muslim suka politik, karena ada saja yang menunjukkan sikap apatisnya bahkan mungkin menjauhi realitas politik kekuasaan. Disisi lain, ada orang-orang yang tak paham politik tetapi punya semangat agama, sehingga seolah-olah berpolitik dengan menghalalkan berbagai cara adalah bagian dari perjuangannya membela agama.
Sulit untuk tidak mengatakan bahwa kenyataannya dalam Pilpres 2019 kali ini umat muslim tampak terbelah. Keterbelahan ini bukan diakibatkan oleh soal pandangan perbedaan politik, tetapi pada fanatismenya yang semakin akut kepada masing-masing personal para kandidatnya. Bukan tidak mungkin, fanatisme ini akan menggiring pada wujud kultus individu yang meminggirkan segala cara pandang rasional yang umumnya melekat dalam konteks kepolitikan. Kultus individu jelas membahayakan, karena memberangus aspek rasionalitas politik sekaligus memporak-porandakan struktur-struktur politik yang terbangun dalam sistem yang telah baku.
Hal ini tampak jelas, bagaimana seorang tokoh agama tampak lebih berpengaruh dalam soal dukungan politik daripada pimpinan parpolnya sendiri. Ketika pimpinan parpol menyatakan dukungan politiknya berbeda dengan pilihan tokoh yang dikultuskan, lalu tiba-tiba muncul perlawananan dari anggota parpolnya sendiri, ini jelas sangat tak biasa dalam iklim politik demokratis.