Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Seks, Gaya Hidup, dan Prostitusi

8 Januari 2019   10:34 Diperbarui: 8 Januari 2019   15:33 1113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selain politik, barangkali isu mengenai seks, gaya hidup, dan prostitusi seringkali menjadi wacana yang selalu menarik dibicarakan masyarakat. Bahkan mungkin, hampir di banyak media yang mengupas persoalan-persoalan seputar seks atau prostitusi malah lebih banyak diakses dibanding media-media mainstream yang tidak terlalu tertarik mengangkat isu soal ini. 

Saya kira, koran-koran atau majalah yang memampang gambar-gambar vulgar cenderung lebih diminati masyarakat, ini artinya seks memang sudah menjadi bagian gaya hidup setiap orang.

Siapa yang tak suka seks? Hampir tidak ada, terlebih fenomena masyarakat urban yang hampir setiap hari disuguhi konten "sexual explisit" yang memang hal biasa dalam realitas permisif masyarakat perkotaan.

Ada benarnya ketika Sigmund Freud mengemukakan sisi kemanusiaan di mana dorongan seksual merupakan puncak tertinggi dari seluruh kebutuhan manusia. Freud menyebutnya sebagai "id" suatu entitas psikis yang tertanam dalam diri setiap orang untuk terus menerus mencari kebahagiaan hidup melalui pemenuhan kenikmatan dirinya sendiri. 

Kenikmatan tentu saja gaya hidup yang tak mungkin dilenyapkan, karena setiap orang pasti sangat ingin merasakan kenikmatan dari seluruh aspek kehidupannya. Karena itulah, ada entitas psikis lainnya yang kontradiktif dengan "id" yaitu "superego" yang digambarkan Freud sebagai kecenderungan dorongan moral di mana setiap orang selalu ingin dipandang secara sosial sebagai pribadi yang baik, suka menolong, atau peduli terhadap lingkungan.

Ada pergeseran sosial yang cukup besar, dimana seks dan prostitusi ternyata tak lagi linier dengan kondisi kemiskinan atau desakan kebutuhan ekonomi.

Jika dulu gambaran masyarakat miskin perkotaan identik dengan maraknya prostitusi akibat desakan ekonomi, maka dalam era kekinian, prostitusi bukan menjadi sebab utama kemiskinan atau keterbelakangan ekonomi tetapi karena mungkin dorongan gaya hidup dalam pemenuhan kebutuhan seksual. 

Uniknya, wujud prostitusi tak lagi berasal dari rumah-rumah bordil, bedeng-bedeng semi permanen di pinggir jalan, atau sekadar gelar tikar diapit semak-semak belukar, karena prostitusi sudah tersedia secara massif dalam berbagai situs kencan yang terkoneksi dalam wujud akun-akun tertentu di media sosial.

Tak perlu susah-susah, anda tinggal "searching by google" dengan mengetikkan apa saja yang terkait dengan dunia esek-esek ini, maka ribuan laman online akan memunculkan beragam variannya.

Mencari kenikmatan seksual dalam dunia daring, hampir dipastikan bukanlah dilakukan oleh mereka yang terdesak kebutuhan ekonomi atau akibat terpapar kemiskinan perkotaan yang membuat para pebisnis seks ini putar otak mencari tambahan. 

Jejaring prostitusi ini saya kira, lebih didasari oleh pemenuhan kenikmatan dalam rangka peneguhan identitas masyarakat urban dengan gaya hidup yang tampak lebih borjuis dan modern.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun