Justru hal yang paling sulit didamaikan adalah bagaimana konsep Islam yang seharusnya mampu membuat orang senang bukan ketakutan dengan soal perayaan malam pergantian tahun yang dianggap 'menyerupai' kaum lainnya sehingga kemudian dianggap tidak islami. Seperti muncul ungkapan, "jangan meniup terompet, karena itu kebiasaan Yahudi" atau "jangan ikut merayakan tahun baru karena itu kebiasaan Nasrani".Â
Hal itu kemudian dihubungkan dengan dalil sebuah hadis yang menyebut, "man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum" (siapa saja yang menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagian dari mereka). Hadis ini terlampau 'dipaksa' secara tekstual, padahal yang dimaksud 'menyerupai' tentu saja terkait dengan banyak hal, tidak monolitik!
Saya kira, tak perlu mengupas lebih jauh soal kedudukan hadis ini yang secara umum masih diperdebatkan para ulama mengenai kedudukannya secara transmisi intelektual (sanad).Â
Sebut saja misalnya Abu Daud yang meriwayatkan hadis ini justru tak memberikan komentar apapun atasnya (sakata 'anhu). Bahkan, ulama hadis sekelas Ibnu Tsauban dalam karyanya, "Nashbu ar-Raayah" dan Imam Az-Zarkasyi dalam "Al-Laala'i al-Mantsurah" menyebut kualitas hadis ini "dhaif". Bahkan secara gamblang, Ibnu Hajar al-Haytami menyebut nama seorang periwayat Ali bin Ghurab, sebagai perawi yang dinilai dha'if oleh sebagaian ulama hadis.
Tepat rasanya ketika ada adagium terkenal yang berasal dari para ulama yang menyebut, "al-insaanu hayawaanun muqallidun" (manusia sejatinya adalah mahluk hidup yang cenderung menjiplak), sehingga sulit untuk menyebut bahwa kondisi sosial adalah tak terpengaruh sama sekali dari berbagai hal yang melingkupinya: budaya, tradisi, nilai, bahkan agama yang diikuti terus menerus dan turun-temurun, sehingga setiap pribadi tentu saja "pengekor" dari pribadi atau generasi lainnya yang berinteraksi dengan dirinya selama hidup.Â
Maka, setiap kebiasaan apapun tentu saja identik dengan kehidupan sosial manusia itu sendiri, sehingga dapat disederhanakan bahwa sesungguhnya manusia itu semuanya 'tasyabbuh', pengikut, atau bahkan penjiplak atas lainnya.
Tapi, tahun politik terus menggeser dan menggusur kenyataan sosial digantikan oleh suatu kenyataan politik, bahkan 'dipaksa' agar mengikuti identitas kepolitikan yang seragam. Padahal, unsur dalam diri manusia saja tak bisa homogen, karena ada hal-hal yang jelas tampak dan dapat dinilai dan disangsi secara sosial-keagamaan, seperti sikap, perilaku, atau ucapan, dan ada bagian lain yang disembunyikan secara batin yang tentu saja tak mungkin secara kasat mata dilakukan penilaian atasnya oleh manusia lainnya.Â
Jadi, terasa tampak sinis dan bahkan simplistis ketika menyebut geliat kegembiraan tahun baru yang dirayakan lalu disebut 'menyerupai kaum lain' sehingga muncul penilaian yang lebih ekstrim secara agama, seperti musyrik atau bahkan murtad.
Kegembiraan seolah direnggut dari mereka yang terbiasa mensyukuri pergantian tahun baru Masehi, walaupun saya sendiri tak pernah ikut merayakannya apalagi secara berlebihan.Â
Namun yang pasti, banyak yang berubah dalam konteks tahun baru di tahun politik ini, karena selain nuansa keagamaan dimunculkan untuk "melawan" segala hal yang bukan berasal dari Islam, namun juga kegembiraan yang terus dikekang atau dibatasi dengan berbagai macam kekhawatiran yang padahal di tahun-tahun lalu hampir tak pernah terjadi kerusuhan yang signifikan.Â
Saya jadi teringat, sebuah pesan Nabi Muhammad yang menyebut, "Saya bersumpah demi Allah, yang paling saya takutkan bukan soal kalian menjadi musyrik sepeninggalku nanti, tetapi yang ditakutkan olehku adalah kalian bersaing dan berebut kekuasaan (tanaffasuu bihaa) dalam rangka kemuliaan duniawi". Selamat Tahun Baru 2019 ditengah sesaknya Tahun Politik!