Sebuah intstruksi apalagi terkait dengan aturan yang harus ditaati bersama di sebuah lembaga terkait, tentu saja telah dipikirkan matang-matang. Instruksi bukan sekadar coba-coba, terlebih tak ada hal krusial yang dimaksudkan didalamnya. Itulah kenapa, soal Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 025/10770/SJ Tahun 2018 tentang Tertib Penggunaan Pakaian Dinas dan Kerapian Aparatur Sipil Negara (ASN) di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Badan Nasional Pengelola Perbatasan, justru dinilai lemah bahkan terkesan "setengah hati" karena tak melalui pembahasan bagaimana dampak setelah aturan itu diberlakukan. Benar saja, instruksi ini hanya seumur jagung karena jelas menuai polemik dan sudah seharusnya aturan kerapian berjilbab bagi ASN wanita ini dicabut karena memang mengatur pemakaian jilbab tentu saja bukan hal krusial.
Secara substansial, umumnya sebuah aturan itu memang diturunkan karena ada hal-hal penting yang jika tidak dituangkan secara tertulis, akan berdampak pada hal-hal lainnya yang mungkin saja terkait etika atau hukum yang dilanggar. Hampir-hampir soal jilbab yang lebih kepada tema  kebebasan berekspresi muslimah, terlebih jilbab sekarang telah menjadi mode berbusana lalu diatur sedemikian rupa "agar" diseragamkan dengan memasukkan kain jilbab kedalam kerah baju sudah tentu akan menuai masalah. Terlebih jilbab terlalu sensitif untuk diatur-atur, karena saat ini model jilbab-pun ada yang dianggap "syar'i" dan "tidak syar'i". Lagi pula ini tahun politik, terlalu gegabah jika soal "jilbab-jilbab" saja diatur padahal sudah tahu bakal bermasalah.
Entah kenapa, sensitivitas masyarakat Indonesia ini nampaknya sedang diuji apalagi yang diwacanakan adalah hal-hal terkait agama. Jangankan soal kerapian berjilbab, soal aturan volume pengeras suara di masjid saja sempat menuai polemik, bahkan sempat terjadi aksi kekisruhan ditengah masyarakat. Mengenai jilbab yang bagaimana tentu saja menjadi "ikhtilaf" (perbedaan pendapat) diantara para ulama sejak dulunya dan hal ini belum sampai masuk pada hal kerapihannya. Padahal, dulu mungkin definisi "jilbab" itu tidak populer dipergunakan, karena para muslimah yang taat hanya menggunakan kerudung yang tidak menutup seluruh rambutnya. Lihat saja para istri ulama-ulama besar Nusantara yang rata-rata hanya berkerudung, tak menggunakan "jilbab" seperti yang populer belakangan ini.
Saya kira, hampir tak ada nilai substansialnya ketika instruksi Mendagri soal kerapihan berjilbab ini diberlakukan. Alih-alih menjadi aturan yang diamini jajaran dibawahnya, soal jilbab yang saat ini cenderung menjadi bagian fashion atau budaya---termasuk keyakinan agama---malah merepotkan ketika dibuat aturan baku. Soal aturan keseragaman agar rapih ini justru seakan membatasi kebebasan berekspresi sesuai keyakinan mereka yang menggunakan jilbab. Bahkan, agamapun sesungguhnya mengharuskan agar wanita mengulurkan jilbabnya hingga ke dada dan ini menjadi suatu "doktrin" yang sangat diyakini kalangan wanita muslimah. Maka, ketika aturan memasukkan jilbab ke dalam kerah, selain "melanggar" doktrin keagamaan, jelas mengekang kebebasan berekspresi masyarakat dalam hal berbusana.
Polemik "jilbab masuk krah" memang sudah seharusnya dihentikan agar tidak menjadi "kosmetikasi" politik berkepanjangan. Jajaran MUI juga mengapresiasi langkah Kemendagri yang kemudian mencabut aturan ini yang telah diberlakukan 4 Desember yang lalu, sehingga sudah tidak ada lagi hal yang perlu dirisaukan atau bahkan dipolitisasi. Namun yang pasti, pihak Kemendagri hendaknya lebih teliti dalam membunyikan sebuah aturan, terlebih ini instruksi menteri. Buatlah aturan-aturan yang lebih substansial dan krusial yang sekiranya dapat mencegah tindakan pelanggaran hukum dan etika yang justru belakangan terjadi dikalangan ASN.
Saya kira, masih banyak aturan-aturan yang harus dibunyikan melalui sebuah instruksi menteri selain menyoal kerapihan berjilbab yang tentu saja bernilai substansial. Tak perlu kiranya menyebut hal-hal tertentu apa saja yang sepatutnya dibunyikan melalui sebuah aturan, namun soal kerapihan berjilbab saya kira terlalu mengada-ada atau coba-coba? Karena melihat begitu responsifnya masyarakat yang kemudian membuat aturan ini dicabut. Seolah membuat aturan yang setengah-setengah, di era tahun politik yang sedemikian sensitif, tanpa mengkaji terlebih dahulu secara mendalam atau berkoordinasi terlebih dahulu dengan pihak-pihak terkait. Jika jilbab itu menjadi suatu "alasan keagamaan" yang dipakai oleh sebagian besar wanita muslim, maka Kemendagri dapat berkoordinasi dengan Kementrian Agama atau MUI, sehingga dapat lebih jauh memahami bagaimana sebenarnya pemaknaan jilbab dilihat dari sudut pandang keagamaan.
Justru yang saya khawatirkan, imbas tahun politik terhadap instruksi "jilbab masuk krah" ini mungkin saja dijadikan alat politik pihak lain untuk menyudutkan pemerintah. Namun, jika saya boleh mengkritik, instruksi Mendagri ini seperti dibuat terburu-buru, sekalipun hanya menyoal kerapihan berpakaian bagi pria dan wanita di lingkungan instansi Kemendagri. Yang jadi persoalan ketika membunyikan aturan kerapihan berjilbab, yang kurang lebih terasa "dipaksakan" demi kepentingan keseragaman. Sekalipun saya meyakini, bahwa tidak unsur apapun dibalik instruksi Menteri Tjahjo Kumolo ini ketika dibuat, kecuali memang soal bagaiama agar para ASN di lingkungan lembaga mereka itu tampak seragam dan rapih dalam berpakaian. Tetapi lebih baik membuat aturan-aturan yang lebih substansial saja yang sekiranya melecut kinerja pegawai, bukan pada soal kerapihan berbusananya saja. Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H