Soal kalimat NU "minoritas" ini terlontar dari pernyataan salah satu politisi pendukung Jokowi, setelah beberapa tokoh NU yang memiliki garis keturunan dengan pendiri NU, KH Hasyim Asy'ari dan KH Bisri Syansuri secara terbuka memberikan dukungan kepada capres Prabowo Subianto. Istilah "minoritas" tentu saja sangat "bias" bahkan seakan mendikotomisasi bahwa NU itu ada yang mayoritas dan minoritas.Â
Tambah bingung kan? Beginilah diksi kata yang ketika diungkapkan ke publik sekadar terbawa halusinasi politik yang pada akhirnya menjadi kontraproduktif. Tak perlu harus mendikotomisasi antara NU mayoritas dan minoritas, karena NU tetaplah ormas terbesar dengan keterikatan setiap anggotanya secara kuktural-keagamaan.
Politik tentu saja memberi warna tersendiri bagi NU, sehingga ketika ada bermacam-macam cara pandang warganya terhadap pilihan politik, tak bisa kemudian disederhanakan. NU tentu saja mayoritas secara kultural, karena ke-NU-an justru menjadi ciri khas yang paling "indigenous" dalam praktek keberagamaan Islam di Indonesia.Â
Tak semua orang mempunyai kartu anggota NU walaupun praktik keagamaannya secara kultur sangat dekat dengan NU. Itulah kenapa kemudian muncul dikotomisasi yang menyebut ada "NU kultural" dan "NU struktural". Dalam kacamata politik, dikotomisasi ini mungkin saja dapat memetakan secara kasar, mana warga NU yang cenderung mendekati politik praktis dan mana yang tidak.
Dalam suatu iklim politik demokratis, wajar saja ketika ada kalangan yang secara terbuka mendukung salah satu kandidat. Jika perlu, tak perlu dihubung-hubungkan dengan latarbelakang keorganisasiannya. Saya kira, dukungan beberapa tokoh yang memiliki kaitan langsung secara nasab dengan para pendiri utama NU kepada pasangan Prabowo-Sandiaga adalah hal yang biasa.Â
Walaupun hal ini dapat berdampak pada peningkatan elektabilitas kandidat yang mereka dukung, tentu ini sangat wajar dan memang sudah seharusnya iklim kompetitif ini terus dihidupkan.Â
Dengan menyebut bahwa dukungan itu hanyalah "minoritas" di kalangan NU, seakan memperlihatkan kekhawatiran dimana ini sebenarnya justru dukungan mayoritas, lalu dipersepsikan seolah-olah mereka itu bagian minoritas saja dari NU.
Pasang-surut NU dalam dunia politik praktis telah menjadikan ormas ini lebih cenderung nyaman dengan tidak menjaga jarak dengan kekuasaan. NU pernah jadi parpol, lalu bergabung dalam wadah besar parpol Islam bernama Masyumi, kemudian pecah, dan dipaksa fusi dan masuk dalam PPP, membuat serentetan sejarah kepolitikan NU cukup dinamis.Â
Itulah kenapa, NU sangat sulit dipisahkan dengan dunia politik, pun setelah NU mendeklarasikan dirinya kembali ke khittah 1926. Para aktivis NU yang tersebar dalam banyak parpol, kemudian "direcall" ketika bergulirnya era reformasi agar NU mempunya wadah politiknya sendiri. Itu artinya ketika ditanyakan apakah NU itu entitasnya berhaluan ormas keagamaan atau politik, jawabannya cukup beragam.
Bagi saya, NU bukanlah milik salah satu kubu tertentu yang saat ini sedang sibuk berkontestasi. NU bukan miliki salah satu parpol yang kebetulan lambangnya mirip atau bukan juga milik salah seorang kandidat yang berkompetisi dan diakui sebagai kiai besar NU.Â
Ormas ini justru seperti terus ditarik kedalam ranah politik, terlebih di masa-masa kontestasi, sekadar dimanfaatkan suaranya demi kepentingan politik sesaat.Â