Penetapan Sugi Nur Raharja atau Gus Nur sebagai tersangka dalam kasus pencemaran nama baik semestinya telah memenuhi unsur rasa keadilan masyarakat.Â
Tak ada jalur lain dalam hal mendapatkan keadilan selain dari sisi hukum, terlepas bahwa hukum itu seringkali dianggap "tumpul keatas dan tajam kebawah". Sulit untuk tidak mengatakan bahwa terkadang muncul pretensi politik dalam sebuah kasus hukum, terlebih di masa-masa kontestasi atau persaingan kekuasaan.Â
Namun yang pasti, hukum selalu mengedepankan asas keadilan yang tak dapat diukur oleh rasa puas atau tidak puas atas hasil keputusan yang ditetapkannya. Pretensi politik terhadap hukum, seringkali memunculkan kecurigaan, sehingga anggapan adanya upaya "kriminalisasi" justru mengaburkan kredibilitas aparat penegak hukum itu sendiri.
Istilah "kriminalisasi ulama" bukan saja mewabah sebagai suatu cara pandang atas pretensi politik terhadap hukum, namun seperti ada unsur ketidakpercayaan terhadap seluruh proses hukum yang ada.Â
Parahnya, ada pihak-pihak tertentu yang menganggap "ulama"nya itu tak mungkin bersalah atau melanggar hukum, karena setiap terjerat kasus hukum, dianggapnya sebagai upaya kriminalisasi, dimana seolah-olah para ulama itu sedang dibungkam demi alasan politik.Â
Padahal, hukum tentu saja tak pandang bulu dalam melihat setiap objek, karena apapun objeknya, semua sama dalam pandangan hukum, termasuk mereka yang dianggap "ulama" sekalipun.
Saya justru menyayangkan ketika banyak anggapan yang menyebut kriteria ulama secara simplistis. Ulama hanya dikur sebatas penceramah agama, yang bahkan tak peduli soal retorikanya yang buruk.Â
Hemat saya, kriteria keulamaan tak dapat diukur karena keahlian retorika sehingga mampu membuat kagum banyak orang. Jika demikian, tak ubahnya seperti keberadaan para penyair zaman Jahiliyah yang justru mampu membuai banyak orang bahkan hingga menundukkan nalar sehatnya.
Ulama bukanlah ahli dalam hal retorika, tetapi keulamaan justru dibuktikan oleh kehati-hatiannya dalam beretorika, menjaga laku dan lisannya, bahkan tak jarang justru menyepi dari hiruk-pikuk dunia retoris dan cenderung lebih banyak diam.
Memang, ada sekian banyak informasi kesejarahan dalam Islam yang menunjuk pada fenomena "kriminalisasi" ulama, tetapi itu bukan pada soal retorika yang buruk terlebih menghina atau menghujat masyarakat atau ulama lainnya.Â
Para ulama yang dikriminalisasi justru karena mereka melawan kezaliman penguasa, melalui keilmuannya yang sangat ketat yang dipandangnya sebagai suatu kebenaran yang tak boleh tunduk pada kezaliman. Ahmad bin Hanbal, misalnya, mungkin sebagai contoh ulama yang dikriminalisasi penguasa waktu itu, karena dipaksa harus mengikuti pendapat penguasa yang dinilainya salah, bukan karena retorikanya yang negatif.