Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Boarding Pass Kematian

3 November 2018   21:49 Diperbarui: 3 November 2018   21:53 265
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tragedi pesawat Lion Air yang jatuh di laut Karawang, seharusnya mampu menghentakkan kesadaran kita, bahwa kematian itu ternyata sangat dekat. Saat ini, kita yang hanya dapat menyaksikan melalui layar televisi, hampir tak pernah menyadari bahwa ditengah hiruk pikuk kehidupan ini, setiap orang sudah memiliki boarding pass kematian yang telah ditentukan waktu dan tempatnya oleh Tuhan. Setiap orang telah memiliki karcis yang tak mungkin tertukar, sesuai dengan nama yang tertera, jadwal, dan tempat duduk yang tak mungkin diisi oleh orang lain. Dunia ibarat bandara dengan beragam kesibukan masing-masing, ada yang jalan-jalan, ada yang belanja, ada yang berkumpul, tidur, sibuk dengan ponselnya, dan lain-lain, namun yang pasti semua tampak tertib dan juga santun.

Siapapun yang menyaksikan tragedi jatuhnya pesawat komersil ini, tentu akan sangat merasakan betapa menderitanya mereka-mereka yang merasa kehilangan sanak saudara, keluarga, teman dekat, kolega, namun kita sama sekali tak mampu berbuat apap-apa. Mungkin sejauh ini, kita hanya mampu menatap di layar kaca setiap hari, berharap dengan pasti seluruh prosesi penyelamatan atas sisa-sisa apapun yang terdampak dari tragedi ini seluruhnya diselesaikan. Kita tentu saja mengapresiasi setinggi-tingginya kepada seluruh petugas yang tanpa kenal lelah, senantiasa memberikan pelayanan kepada masyarakat, terutama kepada pihak-pihak yang terdampak langsung dari musibah sebuah pesawat dengan logo 'singa merah' ini.

Kadang saya membayangkan, begitu dekatnya kematian dengan kita bahkan hampir tak ada jarak yang memisahkan antar kita dengan kematian itu sendiri. Mungkin ada diantara kita yang bertemu dengan teman, mengobrol, bersenda gurau, tetapi tiba-tiba beberapa menit kemudian justru ia meninggalkan kita untuk selamanya. Atau sebaliknya, ada kalanya kita terhindar dari suatu tragedi yang merenggut nyawa banyak orang tetapi kita sendiri justru terselamatkan. Hidup ini memang misteri yang tak pernah diketahui siapapun bahkan diri kita sendiri, tentang besok kita kemana, berbuat apa, sekalipun kita sudah jauh-jauh hari merencanakannya.

Jadi, apa sebenarnya yang paling dekat dengan kita? Ternyata kita tak pernah dekat dengan apapun atau siapapun, karena hal tersebut tentu bisa saja berubah dan tak pernah pasti. Lain halnya dengan kematian yang pasti adanya, tak mungkin dapat diulur waktunya barang sekejap-pun.

Setiap dari kita sudah memiliki boarding pass yang siap memasuki gerbang kematian (mortality gate) lalu kemudian siap tinggal landas (take off) menuju kehidupan abadi yang sesungguhnya. Bandara kehidupan kita tak ubahnya sebuah ruang tunggu (waiting room) yang sangat besar, yang ditempati beragam manusia dengan beragam profesi dan latar belakang yang setelah gilirannya tiba, akan siap-siap tinggal landas menuju ke kehidupan yang lain.

Jadi, marilah kita berdamai dengan kematian, karena hanya kematianlah satu-satu entitas yang paling dekat dengan diri kita sendiri. Dengan meyakini bahwa kematian itu dekat dan damai, maka tentu saja kita sudah akan mempersiapkan segala sesuatunya. Penting untuk diingat, bahwa ternyata akal dan hati selalu meyakini, bahwa kematian bukanlah akhir dari segala-galanya, karena ada kehidupan lain yang lebih abadi dari saat ini. Itulah sebabnya, seorang psikolog pernah berujar, It is death creates religion.

Jika keyakinan akan adanya hidup setelah kematian, kita akan diajak berpikir mengenai persiapan dan agenda masa depan, sama halnya ketika kita memanti di dunia kehidupan, tentu saja kita telah menyusun agenda dan segala persiapan untuk masa depan kehidupan kita sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun