Begitu tipisnya antara nilai cinta dan benci, sehingga hampir tak dapat dibedakan kapan kita dalam kondisi mencinta dan membenci. Ada sementara politikus yang giat menyuarakan narasi kemiskinan, kebobrokan, atau kemunduran suatu masyarakat dengan alasan bahwa mereka sangat mencintai masyarakatnya.Â
Tetapi disisi lain, justru sedang menebarkan virus kebencian kepada pihak-pihak kompetitor lainnya. Hebatnya, disisi lain, pihak yang disasar malah melakukan pembalasan dengan jargon-jargon politik yang tak kalah rendahnya karena sama menebar virus kebencian kepada khalayak. Jargon-jargon politik itu muncul dalam suasana bermotif kebencian, jauh dari nilai-nilai kedamaian dan kasih sayang.
Tengoklah media sosial atau media-media konvensional lainnya yang hampir sulit dikatakan mengacu pada nilai-nilai objektivitas sebagai media pemberi informasi kepada masyarakat. Yang didapatkan, betapa mereka telah menebarkan virus-virus kebencian karena ketidaksukaan mereka kepada salah satu pihak, lalu secara buta karena mencintai pihak lain, menonjolkan secara tidak berimbang kebaikannya.Â
Para politisi berlomba-lomba membuat jargon politik yang saling sindir, saling nyinyir, dan saling plintir. Masyarakatpun ikut-ikutan terbawa arus menjadi penyebar virus kebencian, sehingga hampir-hampir lalu lintas kedamaian dan kenyamanan di seantero negeri ini tak pernah mulus laju perjalanannya. Padahal, sungguh tak ada ruginya menebarkan kasih sayang, cinta, dan kedamaian, karena efek vibrasinya dapat mendorong orang lain melakukan hal yang sama.
Mereka yang terpapar virus kebencian tentu saja hampir seluruh segmentasi masyarakat, tak peduli elit, tokoh masyarakat, tokoh agama, penguasa, pegiat media, bahkan hingga sales panci tiba-tiba menjadi pribadi pembenci. Tak peduli orang pintar atau ahli agama, mereka yang dipercayakan menjadi pemimpin-pun tak kalah hebatnya terpapar virus kebencian yang sedemikian menjalar.Â
Yang paling memilukan, ketika ada ungkapan "Tuhan masih menyayangi keluarga saya yang selamat dari sebuah kecelakaan pesawat", justru dibalas dengan ungkapan kebencian dengan menyebut, "gue paling benci ungkapan ini, seakan-akan Tuhan tidak sayang kepada mereka yang terdampak musibah". Betapa virus kebencian ini tak sekadar menjadi fakta dalam dunia politik, tetapi dalam suatu musibah-pun ia kerap menutup kendali akal sehat seseorang.
Wajar memang, karena begitu luasnya paparan virus kebencian yang menulari masyarakat, maka proses ke arah perdamaian menjadi semakin sulit. Masyarakat akan terkotak-kotak menjadi agen-agen penebar virus kebencian yang memacetkan seluruh lalu lintas keadaban dan kedamaian.Â
Betapa sulitnya kita menjadi pribadi yang senantiasa memandang setiap masalah dengan pertimbangan kekuatan akal sehat, yang ada justru perasaan yang semakin menguat mengalahkan apapun termasuk perasaan cinta yang memang telah mulai berkarat.
Kita seakan tak ada pilihan, hanya rasa cinta dan benci yang terlampau berlebih, sehingga wajar jika akal sehat kita memang telah tertutup rapat-rapat. Saya jadi teringat sebuah pepatah lama, "Manis jangan lekas dilulur, pahit jangan lekas diluahkan, gumam-gumamlah dahulu".Â
Pepatah ini tentu saja memberikan pelajaran, anda jangan terlampau mencintai atau membenci, sewajarnya saja, dan yang terpenting gunakanlah akal sehat sebagai pertimbangan dalam menyelesaikan banyak hal, bukan perasaan yang lambat laun mendorong anda lebih jauh tersesat.Â
Jadi, selamatkan generasi kita dari penyebaran virus kebencian, karena bagaimanapun kita tentu saja lebih menyukai perdamaian dimana lalu lintas keadaban dan kedamaian tentu akan berjalan mulus.