Semakin dekatnya ajang kontestasi politik nasional, pihak aparat tentu saja memperketat kegiatan apapun yang bersifat melibatkan banyak massa, terlebih kegiatan tersebut berskala nasional. Hal inilah yang dialami organisasi Pemuda Muhammadiyah dimana dalam waktu dekat akan menyelenggarakan muktamarnya di Yogyakarta.Â
Sayap dari ormas Islam terbesar di Indonesia ini, tentu saja akan menjadi fokus pihak aparat, karena salah satu tokoh utamanya, Dahnil Anzar merupakan jubir salah satu kandidat capres-cawapres rival sang petahana.Â
Sebagai rivalitas politik, penguasa tentu saja berkewajiban memanfaatkan seluruh akses kekuasaan, untuk mendeteksi secara dini pergerakan politik yang sedang dilancarkan rivalitasnya.
Membaca konstelasi politik kekinian, tampak kontras dimana NU yang juga ormas Islam terbesar seakan "berseberangan" secara politik dengan Muhammadiyah, terutama melihat model kedekatannya dengan pihak penguasa.Â
NU seperti "anak emas" yang justru terkesan sepi dari intervensi, berbeda dengan Muhammadiyah yang justru seperti mendapat "tekanan" sebagaimana dirasakan jelang muktamar organisasi sayap pemudanya.Â
Jika organisasi seperti Pemuda Muhammadiyah yang baru saja akan melangsungkan muktamar tiba-tiba diramaikan oleh isu intervensi aparat, mungkin akan berbeda perlakuannya ketika organisasi semisalnya dibawah NU menggelar kegiatan berskala nasional.
Dalam beberapa hal, Muhammadiyah dan NU memang seringkali menjadi "rival politik" dalam konteks besar kekuasaan. Bahkan terkadang rivalitas ini justru menimbulkan konflik di tingkat akar rumput, terutama dalam hal-hal ritual keagamaan baik secara langsung maupun tidak. Lebih-lebih dalam situasi politik saat ini, rivalitas politik antara NU dan Muhammadiyah begitu sangat jelas dirasakan.Â
Salah satu tokoh penting di Muhammadiyah, Amien Rais, justru menjadi corong paling keras dalam mengkritik kekuasaan, dimana NU justru berlindung didalamnya. Ketokohan Amien tak bisa dipandang hanya sebatas ia sebagai politisi senior PAN, tetapi yang lebih penting dirinya adalah tokoh Muhammadiyah yang paling disegani.
Diakui maupun tidak, kedekatan NU dengan kekuasaan dan bahkan salah satu tokoh pentingnya justru menjadi kandidat cawapres, sedikit banyak mempengaruhi hubungan-hubungan rivalitas politik kedua ormas Islam ini.Â
Bukan tak mungkin, mundurnya Din Syamsuddin dari posisi Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerja Sama Antaragama dan Peradaban, terkait erat dengan dipilihnya wakil NU menjadi kandidat mendampingi petahana.Â
Din merupakan mantan Ketua PP Muhammadiyah yang mungkin saja kurang nyaman ditengah begitu mesranya hubungan pemerintah dengan NU dalam struktur kekuasaan. Ia akan lebih "at home" di Muhammadiyah, berjuang bersama organisasinya dan tetap menjaga situasi kondusif dengan tidak berada dalam struktur kekuasaan politik.