Pesantren sebagai sebuah sistem pendidikan "genuine" Islam Indonesia, belakangan citranya mulai terangkat jelang kontestasi politik nasional. Bukan karena ia merupakan aset nasional karena masih mempertahankan sisi pendidikan berkarakter sekaligus mentradisikan pola pendidikan klasik, namun citra pesantren terangkat karena magnet kepolitikan yang kuat.Â
Bukan tidak mungkin, salah satu cawapres yang notabene kalangan pesantren dan memiliki ikatan yang kuat dengan berbagai lembaga pendidikan tradisional ini, mungkin saja memanfaatkannya menjadi mesin pendulang suara dan pesantren menjadi ajang perebutan pengaruh kekuasaan.
Kunjungan para kandidat capres dan cawapres ke pesantren, tak bisa disebut sebagai kunjungan biasa, tapi lebih kepada upaya mencari dukungan politik baik secara langsung maupun tidak.
Himbauan Bawaslu agar capres dan cawapres tak menodai lembaga pendidikan pesantren dengan tidak melakukan kampanye terselubung, sepertinya sangat sulit dihindari. Saya kira, kunjungan para kandidat ke pesantren-pesantren sarat muatan politik, terlebih dilakukan jelang pemilihan umum.Â
Apakah ada undangan atau tidak, ada bahan kampanye yang dibagikan atau tidak, atau ada alat peraga yang dikampanyekan atau tidak, sulit diukur sebagai sebuah pelanggaran dalam kampanye. Terlebih, Bawaslu tak sepenuhnya lembaga netral yang mampu berimbang dalam memantau pergerakan para kandidat politik, karena memang para anggotanya tentu saja berasal dari beragam kepentingan politik yang ada.
Pesantren memang senantiasa menjadi daya tarik secara politik, bukan saja karena ia memiliki potensi menjadi "mesin"pendulang suara, namun keberadaan pimpinannya yang kharismatis mampu mewarnai dan berpengaruh bagi kehidupan sosial-politik masyarakat di sekitarnya.Â
Itulah kenapa, para kandidat politik ramai mengunjungi pesantren dengan alasan silaturahim atau memohon doa restu dari segenap pimpinannya, walaupun secara tidak langsung meminta dukungan politik agar pesantren mau mendukungnya.Â
Saya kira hal ini sangat wajar, terlebih dilakukan jelang pemilu walaupun sangat disayangkan pada akhirnya, pesantren tetaplah dianggap sebagai model pendidikan "nomor dua" yang hampir luput dalam skenario besar pendidikan nasional.
Nuansa politik sedemikian kental, ketika setiap kandidat politik hanya berkunjung ke pesantren-pesantren besar yang juga memiliki massa cukup banyak.Â
Padahal, banyak pesantren-pesantren yang berada di ujung pelosok yang dilupakan, bahkan luput dari perhatian banyak orang. Jika para kandidat tak ada kepentingan politik apapun hanya sebatas meminta restu dan silaturahim, kenapa harus memilih pesantren mana yang akan dikunjungi?Â
Dilain pihak, banyak pesantren yang merangkak dan mandiri bahkan sulit menjadi besar karena sangat minim biaya dan tak pernah diperhatikan kalangan elit politik nasional. Saya kira, tak perlu menutup mata, bahwa kenyataan politik membawa para kandidat sekadar meminta dukungan untuk menang, tidak semata-mata berkhidmat dan ingin mendudukkan pesantren sebagai lembaga pendidikan yang hebat.