Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Teka-teki Penganiayaan Ratna dan Kenakalan Politik

3 Oktober 2018   09:59 Diperbarui: 3 Oktober 2018   10:05 476
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kabar soal siapa yang menganiaya aktivis Ratna Sarumpaet saat ini masih simpang-siur, bahkan kapan dan dimana dirinya dipukuli juga masih teka-teki. Lokasi dimana salah satu jurkam nasional capres Prabowo Subianto itu dianiaya juga nampak masih belum jelas. Anehnya, pihak otoritas Bandara Husein Sastranegara, Bandung, juga membantah soal adanya dugaan penganiayaan merujuk pada hasil CCTV dan tak adanya manifes penerbangan nama Ratna di bandara. Hal ini jelas masih teka-teki, namun yang pasti siapapun yang melakukan penganiayaan, terlebih kepada perempuan adalah pengecut tanpa akal sehat apalagi dilakukan dengan cara keroyokan.

Kasus penganiayaan Ratna ini terus masih jadi teka-teki, karena diketahui ia tak lapor polisi dengan dalih khawatir keselamatan anak dan cucunya. Padahal, Ratna diketahui sebagai pribadi yang berani, bahkan lebih berani dibanding sesama aktivis lainnya yang berkelamin laki-laki. Bagaimana tidak, beberapa kali namanya menjadi perbincangan publik belakangan ini, karena keberaniannya mengkritik dan memprotes kinerja pemerintahan yang dianggap menyimpang. Ratna, misalnya pernah berdebat dengan Menko Kemaritiman, Luhut B Panjaitan saat tragedi Danau Toba yang menghentikan pencarian korban tenggelam. Terakhir, kritik Ratna sangat menohok kepada pemerintah, soal tudingan dana 23 T untuk bantuan Papua, tetapi diblokir bahkan lenyap entah kemana.

Lalu, apakah penganiayaan yang terjadi baru-baru ini ada kaitannya dengan kritik-kritiknya yang sangat keras kepada pihak pemerintah? Belum tentu, walaupun mungkin saja ada pihak-pihak tertentu yang gerah dengan berbagai ungkapan Ratna di media, lalu menggunakan cara-cara lama membungkam ocehan para aktivis. Cara lama yang dimaksud seperti pernah terjadi di era Presiden Soeharto, banyak para aktivis yang kritis lalu ditangkap, dianiaya, dipenjara, atau bahkan "dihilangkan". Mungkin saja mereka yang pernah merasakan hidup di zaman Orde Baru, tahu persis bagaimana cara terbaik untuk membungkam para aktivis, demi stabilisasi politik nasional.

Bukan suatu kebetulan rasanya, bahwa aktivis Ratna Sarumpaet merupakan pendukung Prabowo Subianto, rival incumbent yang saat ini sedang memasuki masa kampanye untuk kontestasi Pilpres tahun depan. Pertentangan politik yang begitu tajam di arus bawah---baca: pendukung Jokowi dan Prabowo---memang sangat memungkinkan untuk mengangkat isu-isu tertentu menjadi komoditas politik. Kasus penganiayaan Ratna jelas membuat berang para simpatisan capres Prabowo, bahkan barisan PA 212 menyatakan "perang" terhadap musuh-musuh negara ini yang saya kira publik paham ke arah mana pernyataan ini ditujukan.

Kasus penganiayaan Ratna kemudian semakin laris-manis diangkat sebagai isu komoditas politik, dimana seakan-akan ada pihak tertentu yang jahat dan mulai menabuh genderang perang, dan disisi lain pihak yang diajak perang harus bersiap-siap menuju medan perang. Kasus pribadi Ratna, malah semakin diseret-seret oleh kegenitan politik, dimodifikasi, dibumbui, bahkan "digoreng" agar terkesan ada pihak lawan politik yang harus segera dipersalahkan dan menjadi pesakitan. Padahal, kasus ini masih teka-teki yang belum tentu juga terkait soal perbedaan politik atau soal kritik-kritik Ratna yang sejauh ini tak membahayakan keutuhan negara.

Isu penganiayaan Ratna bukannya dilihat secara jernih atau diinvestigasi secara adil melalui keterlibatan aparat berwenang didalamnya, tapi malah dimanfaatkan oleh kegenitan politik, memoles kasus-kasus seperti ini sehingga timbul kesan lemahnya aparat keamanan bahkan mereka dianggap pro rezim karena membiarkan kesewenang-wenangan terjadi. Kegenitan politik justru semakin meningkat pada akhirnya menjadi kenakalan politik, dimana melacurkan diri demi kepentingan pribadi atau kelompok politiknya jauh lebih besar daripada berbakti untuk kebaikan diri, bangsa dan negaranya.

Politik jelang Pilpres ini memang semakin nakal, bahkan kenakalannya semakin sulit dibendung karena para simpatisan dan pendukungnya benar-benar telah merasakan nikmat dan dibutakan oleh keadaan politik yang serba nakal. Tak menutup kemungkinan, bahwa kenakalan politik terjadi karena memang ulah para elitnya yang sengaja terus-menerus menunjukkan sikap genitnya dalam hal politik. Isu apa saja yang sekiranya laku dijual, maka akan dijual dengan stempel "partisan" politik. Dari mulai gestur hingga narasi, bahkan lagu hingga puisi, tak ketinggalan soal bencana alam yang banyak korban, hingga kasus pemukulan yang satu korban, semuanya bisa diolah sedemikian rupa menjadi komoditas politik. Semakin dekatnya Pilpres, politik tidak saja bertambah genit, namun kelihatannya semakin nakal dan tampak semakin bergairah!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun