Mungkin tak salah jika kita merenungkan makna dari syair lagu populer penyanyi legendaris Ebiet G Ade yang menyebut soal bencana apakah karena memang "Tuhan telah bosan melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa, atau alam mulai enggan bersahabat dengan kita". Paling tidak, syair lagu ini mewakili dua sisi dalam memandang setiap bencana, ada kerusakan ekologis yang sedemikian parah karena memang ulah manusia itu sendiri.
Dan disisi lain, manusia malah berlomba-lomba dalam perbuatan dosa dan kerusakan, sehingga secara teologis, banyak diantara mereka yang justru mencampakkan sang Pencipta dan Pengatur alam raya. Dalam soal bencana, dua kutub ini saling tarik-menarik bahkan mungkin saling adu kekuatan, dibicarakan dan diperdebatkan manusia tanpa henti.
Membaca bencana memang tak bisa dilepaskan dari dua kutub yang saling kontradiktif ini, keterpeliharaan ekologis dan kenyataan teologis. Sejauh ini, alam dan seluruh ekosistemnya memang harus dipelihara dengan baik dan benar, karena jika tidak, muncul ketidakseimbangan yang justru seringkali memicu bencana. Tanah longsor, banjir, kekeringan, atau bahkan gempa bumi dan tsunami, semata-mata merupakan akibat dari ulah manusia sendiri yang secara sadar merusak alam.Â
Bagaimana tidak, alam yang dulunya tenang belakangan justru bergejolak, karena dirusak dan dipaksa agar memberikan keuntungan kepada beberapa gelintir manusia. Pengeboran, penggundulan hutan, penggalian demi mengeruk kekayaan bumi, jelas fenomena perusakan alam yang marak terjadi.
Secara ekologis, alam mungkin telah kehilangan keseimbangannya, sehingga linier dengan terjadinya bencana demi bencana. Walaupun dalam kacamata teologis, ada saja yang menganggap ini sebagai murka Tuhan akibat ulah kerusakan yang diperbuat manusia itu sendiri.Â
Pandangan ini umumnya mendasarkan pada korelasi "pemaksaan" Tuhan dan sikap "terpaksa" manusia agar mau tunduk dan patuh kepada segala perintah-Nya. Seolah-olah, teori ini memberikan persangkaan yang buruk terhadap Tuhan, karena Tuhan-lah sesungguhnya yang berkuasa menurunkan atau menahan bencana kepada manusia berdasarkan pertimbangan kebaikan dan keburukan perlakuan manusia terhadap Tuhan.Â
Saya kira, pandangan atas bentuk "pemaksaan" Tuhan agar manusia mau kembali ke jalan-Nya melalui bencana yang ditimpakan, seringkali muncul sebagai pembenaran atas kebiasaan manusia memelihara dosa-dosa dan kesalahan di muka bumi.
Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa relasi teologis dalam membaca bencana sepertinya lebih kuat dibanding wacana ekologis yang menyebut secara ilmiah bahwa memang terdapat pergerakan dasar bumi yang tak terhindarkan dan akan lebih cepat terjadi ketika umat manusia secara serakah terus menerus merusak ekosistem lingkungan sekitarnya.Â
Dalam beberapa kali terjadi bencana alam di Indonesia, seringkali muncul alasan-alasan teologis yang menghubungkan bencana dengan prilaku manusia yang menyimpang dan meninggalkan kewajiban mereka kepada Tuhannya.Â
Lalu, bagaimana sesungguhnya membaca setiap terjadi bencana? Mungkinkah ada korelasi antara kajian ekologis dan pandangan teologis yang mengungkap secara tepat fenomena bencana yang kerap kali terjadi?
Saya sendiri beranggapan, terdapat korelasi yang erat antara persoalan ekologis yang menyuruh manusia menjaga keseimbangan ekosistem sekaligus keyakinan teologis dimana dosa-dosa---dalam hal ini tidak saja dosa yang secara vertikal, tetapi juga horizontal antara manusia dan manusia dan manusia dan alam sekitarnya---juga memiriki andil dalam memicu terjadinya bencana.Â