Saya meyakini, dalam kitab suci disebutkan, "Dan apa saja musibah yang menimpa kamu maka adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)"Â (QS. 42:30).
Menarik sesungguhnya ketika menghadirkan wacana teologis dalam memandang suatu musibah atau bencana, karena hal ini paling tidak dapat menurunkan tensi kesombongan manusia dan seringkali berdampak pada kesadaran manusia akan besarnya kekuasaan Tuhan.Â
Kekuatan teologis dapat secara langsung me-recovery kondisi pribadi seseorang pasca tertimpa bencana, sebelum kondisi lingkungan dimana ia tinggal selesai di-recovery. Keyakinan teologis akan mampu memberikan kekuatan baru kepada seseorang untuk pasrah dan menerima bahwa semata-mata ini adalah takdir Tuhan yang tak mungkin bisa ditolak.
Teologi sesungguhnya mampu menghadirkan suasana keyakinan yang mendasarkan bahwa manusia memiliki kebebasan sepenuhnya untuk melakukan apa saja (free will) namun disisi lain terdapat tanggungjawab yang besar terhadap segala tindakan yang dilakukannya.Â
Membaca bencana, semestinya memang dipandang secara menyeluruh, menyatukan aspek ekologis dan teologis sekaligus, sehingga setiap orang tak mudah mempersalahkan Tuhan yang dengan kuasa-Nya menurunkan bencana, atau terlebih hanya mendasarkan pada dosa-dosa manusia "secara vertikal".Â
Bencana timbul sebab ulah manusia yang merusak keseimbangan ekosistem, mengeruk kekayaan alam secara membabi buta sehingga relevan dengan dosa-dosa yang diperbuatnya sendiri. Dalam hal ini, perbuatan manusia dan kehendak Tuhan seakan menemukan titik temunya, bisa dalam bentuk bencana atau kesengsaraan, atau kenikmatan dan kebahagiaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H