Mungkin tak ada salahnya jika soal dukungan Yenny Wahid dan Gusdurian kepada pasangan Jokowi-Ma'ruf merupakan simbol perlawanan atas politik identitas yang selalu disuarakan rivalnya, Prabowo-Sandi. Politik identitas yang dimaksud kental dengan nuansa fanatisme golongan atau kelompok berdasarkan segmentasi agama tertentu, bahkan menolak seluruh realitas sosial yang tidak sesuai segmentasinya.
Politik identitas seringkali mengidentifikasikan diri dan kelompoknya sebagai "yang terbaik" seraya mempropagandakan segala kelebihannya dengan memanfaatkan artikulasi keagamaan demi tujuan-tujuan kepentingan kelompoknya sendiri.
Wujud politik identitas dengan mengatasnamakan kelompok dan agama tertentu, seringkali menciptakan ikatan-ikatan ekslusivistik yang jauh dari nilai-nilai pluralisme-kebangsaan.
Sangat wajar kiranya, jika nilai-nilai pluralisme yang ditanamkan mendiang KH Abdurrahman Wahid cukup kuat menjadi pedoman berpolitik keluarga dan para pengikutnya dalam barisan "Gusdurian".
Nilai-nilai pluralisme yang ditanamkannya selaras dengan nilai-nilai ajaran Islam yang "rahmatan lil alamin", melalui penerimaan seluruh perbedaan berdasarkan realitas sosial, baik agama, keyakinan, suku, bangsa, tradisi, dan budaya.
Islam dalam pandangan Gus Dur bermakna subtantif-inklusif: Â secara politik "menjauhkan" dari simbolisasi atau identitas kekelompokkan dan secara sosial membangun ruang-ruang kebersamaan dalam hubungan-hubungan sosial berdasarkan cara pandang "keimanan" bukan "keislaman"
 Nilai-nilai ajaran Islam dibumikan secara sosio-kultural sehingga mampu menciptakan wajah Islam yang lebih ramah, berkeadilan, dan moderat.
Menguatnya arus politik identitas yang disuarakan berbagai kalangan dalam upaya mendukung pasangan Prabowo-Sandi, justru menjadi alasan terpenting Yenny dan Gusdurian untuk menolaknya dan memilih mendukung pasangan Jokowi-Ma'ruf yang lebih egaliter.
Jika figur Jokowi dianggap sebagai sosok sederhana namun kaya akan karya dan Ma'ruf dinilai sebagai perwujudan nilai-nilai Islam pluralis sebagaimana dinarasikan Gus Dur, maka dipastikan pasangan ini "cocok" dalam persepsi politik mereka. Namun yang pasti, kultur pluralisme yang sejauh ini "hidup" dalam beragam aktivitas Gusdurian, tentu sangat bertolak belakang dengan berbagai narasi politik identitas.
Dukungan resmi Yenny Wahid akan berdampak sebagai tambahan amunisi politik secara signifikan terhadap kekuatan pasangan Jokowi-Ma'ruf Amin. Yenny, tentu saja tidak sendirian karena dibelakangnya ada banyak kiai dan ulama, termasuk anak-anak muda NU pengagum Gus Dur.
Bukan hanya itu, keputusan memberikan dukungan tentu saja berdasarkan "kesepakatan" para ulama yang memahami benar bagaimana Islam diartikulasikan dalam ranah politik. Para ulama "pembisik" Yenny tentu saja yang sejalan dengan prinsip-prinsip Islam sebagaimana dipegang teguh oleh Gus Dur, yaitu prinsip "rahmatan lil 'alamin" yang mengejawantah dalam ranah pluralisme dan inklusivisme.