Mengeksplorasi jalanan di Kota Mekah al-Mukarramah selepas salat subuh selalu mengasyikkan. Tidak hanya mengolahragakan kaki, tetapi juga memanjakan mata dan perasaan. Kapan lagi membiasakan diri menjadi pedestrian? Sekaligus berharap bertemu pedagang dadakan "khamsah riyaal kulluh" (serba 5 ribu versi Indonesia). Pandangan juga serasa dimanjakan oleh ornamen gedung yang unik, sekaligus wanita Arab berhijab yang tak bosan rasanya dilihat.
Setelah melewati Jannatul Ma'la, menjelang matahari meninggi, banyak Wan Abud yang mulai menggelar dagangannya. Mobil bak sekelas Hilux nongkrong di sudut jalanan penuh dengan barang dagangan. Mulai dari gamis, sorban, jilbab, mainan anak-anak,minyak wangi, sampai bukhur--semacam menyan Arab yang dibakar--semuanya sama satu harga.
Diemperan trotoar juga banyak digelar dagangan baju dan peci haji yang lebih miring harganya. Sudah dikasih miring, ternyata masih bisa ditawar pula, benar-benar anjlok tuh harga. Tapi itu hanya berlaku bagi jamaah haji Indonesia, tidak bagi jamaah lainnya. Itu karena orang Indonesia jujur dan sopan, jauh berbeda dengan para hujjaj sandalan yang kadang nakal alias "darmaji".
Bagi jamaah haji Indonesia yang senang traveling, saya rekomendasikan Pasar Ja'fariyah sebagai tempat membeli oleh-oleh yang cukup murah. Lokasinya tak jauh dari pintu utama Ma'la, jadi sehabis ziarah sekalian dapat berbelanja. Pasar ini tak ubahnya "Tanah Abang" Indonesia, menjual eceran dan grosiran. Tak perlu khawatir kendala bahasa, karena hampir seluruh pedagang pasar ini fasih bertransaksi dengan bahasa Indonesia.
Namun, Â jika kita termasuk orang pelit, membeli barang murah diemperan menjadi incaran utama. Lumayan, gamis yang dijual di pasar paling murah dengan harga 30 riyal, di emperan cuma 5 sampai 10 riyal tergantung pinter-pinter nawar tentunya dengan sedikit fasih berbahasa Arab.
Malah pernah ada Wan Abud yang heran dengan saya, karena dikira muqimin yang tinggal di Arab, padahal modal nawar dengan bahasa sono, "khamsta 'asy"Â dengan logat 'amiyah. "Kalamuk jayyid, ya Muhammad! ". Disana siapa saja dipanggil "muhammad", "ahmad" atau "hasan". Modal "lughah arabiyyah" yang nabrak-nabrak ternyata meningkatkan derajat "bargaining" ketika saya menawar barang.
Lucunya, ada emak-emak yang malah minta tolong agar barang yang ingin dibelinya ditawar ke Wan Abud. Harga awal yang semula 30 riyal, saya coba tawar, "'isyriin, halal?". Si Abud menggeleng tetapi dengan berlagak tak butuh saya siap berlalu. "Khamsta isyriin, halal". Saya berlalu saja, tetapi dipanggil.."Masya Allah Indonesia" akhirnya si emak-emak berterima kasih dengan logat medannya.
Jadi, kalau bisa jangan pake bahasa tubuh, atau ngotot dengan bahasa Indonesia, modal kosakata fasih berbahasa Arab ternyata bisa menaikkan bargaining lebih luas. Orang Arab ternyata senang dengan orang Indonesia apalagi mampu berbahasa Arab, karena bahasa arab orang Indonesia lebih teratur dan jelas tak disingkat-singkat kaya Wan Abud.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H