Gaduh soal Islam Nusantara yang kadang malah terlampau jauh dari konteks pembicaraan sebenarnya, bahkan ada yang menganggap Islam Nusantara agama baru, kok bisa? Lah, agama baru siapa yang bawa? Lalu siapa nabinya?Â
Duh, soal remeh temeh ini lalu diviralkan, agar orang tahu bahwa Islam Nusantara itu agama baru, penyelewengan akidah, sehingga membahayakan umat. Itulah karena rasa benci sudah duluan bergejolak, apapun jadi rusak.Â
Mending jualan Martabak kaya Gibran yang walau lapaknya didemo, ia tetap santai sambil bilang, "Makasih semuanya, sudah dibantu marketingin markobarnya, semoga nanti dagangannya menjadi semakin laris". Lho kok bisa gak benci atau minimal sebal? Atau bales saja dengan marah-marah, sekaligus lapor polisi karena yang didemo kenapa Markobar? Apa martabaknya gak enak?
Soal Islam Nusantara, saya kira sudah banyak yang menjelaskan walaupun yang dijelaskan tetap gak masuk-masuk ke akal mereka yang sehat, situ waras? Insya Allah waras, jika mau memcermati definisi agama yang diungkap Ibnu Hajar al-Haitami dalam sebuah karyanya "Tuhfatul Muhtaj fi Syarhil Minhaaj" begini: "'irfan wadl'un ilahiyyun saaiqun lidzawil 'uquul bikhtiyaarihim al-mahmuudi ilaa maa huwa khairun lahum bidz-dzaati"Â (agama itu pengetahuan berdasarkan ketetapan Tuhan sebagai pemandu orang yang berakal agar mampu memilih segala hal berdasarkan kebaikan ke arah yang lebih baik lagi secara sadar).
Jadi, orang beragama ya orang berakal yang menyesuaikan akalnya dengan apa yang menjadi ketetapan Tuhan. Agama, mengandung dua unsur penting, yaitu "al-mahmuud" (kebaikan/akhlaq terpuji) dan "khair" (kebajikan, sehingga selalu memandang apapun dengan baik, husnudzan tidak suudzan). Lagi pula, Allah melarang orang berburuk sangka (suudzan) walaupun sedikit karena itu perbuatan dosa.Â
Orang yang menggunakan akalnya dengan baik, tentu saja tak mudah berburuk sangka, bahkan lebih baik berbaik sangka karena akal sesungguhnya selalu menuntun kepada kebenaran. Karena "aql" sendiri artinya "tali pengikat", sehingga manusia dapat memfungsikan akalnya untuk mengikat dirinya agar tak terjerumus dalam kesalahan dan perbuatan dosa.
Dulu, para tokoh penyebar agama Islam (Wali) adalah para ilmuwan yang cerdas, menggunakan akalnya bagaimana setiap perintah Tuhan mampu ditangkap masyarakat sebagai kebaikan dan kemudahan bagi mereka, bukan kesulitan. Akal masyarakat diajak "selaras" dengan makna agama Islam yang rahmatan lil alamin, penuh kasih sayang, ketenangan, dan kegembiraan.Â
Maka, para Wali ada yang menggunakan metode selametan, tahlilan, wayangan, dolanan, marhabanan, debaan, sarungan, dan macem-macem pokoknya serba "an" lah. Nah, disitulah Islam mudah berkembang, berpadu dengan adat tradisi masyarakat Nusantara tanpa kehilangan ruh Islamnya dan tak perlu harus menghancurkan kearifan lokalnya yang telah lebih dulu ada.Â
Hampir tak pernah terdengar  pertentangan dari masyarakat ketika Islam itu mersap kedalam budaya Nusantara, yang ada mereka menerima dengan lapang dada bahkan secara sadar mereka rela menjadi Islam, karena Islam itu baik, mengajak kepada kebaikan, tak pernah mengobarkan permusuhan apalagi menentang tradisi atau budaya.
Rasulullah tentu saja tauladan yang baik dan sempurna, sehingga tak pernah sekalipun bertentangan dengan umatnya. Setiap perbedaan pendapat selalu ditunjukkan oleh kebaikan dan kesempurnaan, hampir tak ada yang dipersalahkan. Pernah ada seorang sahabat yang ketika ditunjuk menjadi imam salat, pasti selalu membaca "qulhu" di setiap selesai membaca salat.Â
Jelas, sahabat lain bertanya-tanya, bahkan sampai ada yang marah-marah. "Ente mau buat agama baru?" Gak ada syariatnya itu surat "qulhu" dibawa-bawa setiap salat. Kalau ente masih baca tuh surat, kita-kita ini dah gak mau diimamin lagi, kecuali ente berjanji mau ninggalin tuh "qulhu". Lalu, dirinya menjawab dengan tenang, "Jika kalian tak suka saya imami karena saya suka "qulhu", silahkan mencari imam yang lain".