Memisahkan politik dari agama dalam konteks keindonesiaan bukan suatu hal yang mudah. Hal ini kemungkinan karena Indonesia merupakan wujud masyarakat agamis yang senantiasa memberikan warna agama terhadap berbagai realitas kehidupan sosial-politik. Latar belakang kesejarahan Indonesia yang lekat dengan nilai-nilai budaya yang diadopsi dari agama, paling tidak membuktikan bahwa agama dan politik terasa sulit dipisahkan.Â
Indonesia bukanlah negara sekuler sekaligus bukan negara agama, tetapi kedua entitas ini terus saling mengisi berkelindan dalam format kehidupan sosial dan politik.
Dinamika kepolitikan Indonesia sejauh ini, tak lepas dari beragam nilai keagamaan yang melingkupinya. Bahkan, untuk fenomena kepartaian sulit untuk tidak dihubungkan dengan "politik aliran" yang berasal dari kelompok keagamaan yang telah ada sejak dahulu.
Salah satu bentuk "aliran" keagamaan yang lekat dengan nuansa politik kekuasaan salah satunya adalah Nahdlatul Ulama (NU). Ormas Islam terbesar ini belakangan menjadi pusat perhatian publik karena dinilai memiliki kedekatan erat dengan pemerintah, bahkan tanpa reserve. Bahkan, bukan suatu hal yang aneh, jika muncul fatwa-fatwa keagamaan yang disinyalir sebagai dukungan terhadap pemerintah atau salah satu kontestan politik.Â
Para ulama NU sudah terbiasa dengan realitas dukung-mendukung dalam suatu ajang kontestasi, apalagi jika yang menjadi kontestan adalah bagian dari kelompok mereka sendiri.
Pilkada Jatim yang notabene diramaikan oleh dua kandidat yang sama-sama nahdliyyin, tak mungkin dilepaskan dari suasana dukung mendukung secara politik dan hal ini tentu saja menjadi lahan kreativitas para ulama setempat bagaimana memenangkan salah satunya.
Jatim, sebagai basis terkuat massa NU, merupakan cermin politik aliran yang terpecah karena dua kontestannya tokoh-tokoh sentral ormas Islam tradisional ini. Saifullah Yusuf (Gus Ipul) merupakan kandidat cagub Jatim yang berafiliasi dengan "darah biru" pesantren karena lekat dengan garis keturunan tokoh pendiri NU.
Kandidat lainnya, Khofifah Indar Parawansa juga tokoh perempuan NU yang cukup potensial, karena pengalamannya sebagai ketua umum muslimat NU telah sukses membawanya menduduki jabatan kementrian di tingkat pusat.
Siapakah kandidat yang nanti akan memenangkan kontestasi, tergantung dari pengaruh para ulama NU yang seringkali menjadi panutan warga nahdliyyin, termasuk dalam soal penentuan pilihan politik.
Pada tingkat akar rumput, cara pandang warga NU terhadap politik masih sangat tradisional. Kharismatik seorang ulama masih menjadi panutan, bahkan setiap nasehat dan fatwanya seringkali menjadi rujukan dalam hal keagamaan, sosial maupun politik. Jadi wajar saja ketika marak fatwa yang mengarah pada ajakan memilih salah satu kandidat yang diungkap para ulama.
Pilkada Jatim 2018 memperlihatkan fenomena ini, terlebih masing-masing kandidat yang berkontestasi adalah tokoh-tokoh NU yang relatif sulit jika tak diarahkan pilihan politiknya melalui serangkaian fatwa ulama. Terbuka ataupun tertutup, fatwa ulama di kalangan NU pasti tetap ada, karena inilah salah satu alasan bahwa politik aliran masih sangat kuat mewarnai dunia politik tanah air.