Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Ketika "Fardhu 'Ain" Menyeruak di Pilkada Jatim

25 Juni 2018   13:23 Diperbarui: 26 Juni 2018   11:11 2993
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasangan calon gubernur dan wakil gubernur Jawa Timur pada Pilkada 2018, (ki-ka) Saifullah Yusuf, Puti Soekarnoputri, Khofifah Indar Parawansa, dan Emil Dardak di Studio Kompas TV, Rabu (7/3/2018).(KOMPAS.com/Wisnu Nugroho)

Fatwa dukungan ulama NU kepada salah satu kandidat di Pilkada Jatim, tertuang dalam sebuah dokumen bernomor 1/SFMM/V/2018 yang menyebut "fardhu 'ain" bagi seluruh masyarakat Jawa Timur untuk mendukung pemenangan pasangan Khofifah-Emil. 

Tak tanggumg-tanggung, fatwa tersebut dideklarasikan langsung secara resmi oleh Pengurus Wilayah NU (PWNU) Jatim dipimpin oleh Wakil Ketua PWNU Jatim, KH Ahmad Siddiq. Saya kira tak ada masalah soal deklarasi yang diinisiasi pengurus NU, toh kemudian muncul juga deklarasi tandingan mendukung pasangan lainnya yang dimotori oleh Forum Komunikasi Kiai Kampung Jawa Timur (FK3JT) yang juga wadah para ulama.

Dukung mendukung menjadi hal biasa dalam ormas Islam NU dan ini sudah terjadi sejak masa-masa kemerdekaan Indonesia, di mana para ulama berbeda pilihan politik dalam ajang kontestasi. Namun menjadi hal aneh, ketika munculnya fatwa politik ini disikapi secara tidak bijak oleh kalangan NU sendiri. 

Bahkan, Jaringan Alumni Muda Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Jampi PMII) menyebut fatwa ulama tersebut sebagai sebuah ujaran kebencian sehingga mereka melaporkan keberadaan fatwa ini ke pihak kepolisian. Kritik juga dilontarkan oleh Ketua Umum PBNU KH Aqil Siradj dengan menyebut bahwa dalil agama yang sarat nilai ketuhanan tak seharusnya dipakai untuk kepentingan politik yang bersifat keduaniaan.

Diakui maupun tidak, keberadaan dua kader NU yang maju di pilgub Jatim telah memecah belah NU sendiri, bahkan politik telah menyeret ormas ini kedalam perebutan kekuasaan yang abai terhadap nilai solidaritas ke-NU-annya.

Tak ada yang salah dengan fatwa, terlebih fatwa hanyalah sebuah sikap atau pendapat keagamaan yang tak mengikat secara hukum. Istilah "fardhu 'ain" juga merupakan sikap yang mungkin saja terdapat perbedaan (ikhtilaf) di antara para ulama. Dalam terminologi fiqih, jihad dalam rangka berdakwah atau berperang misalnya, bisa masuk kategori "fardhu 'ain" (kewajiban individu) atau "fardhu kifayah" (kewajiban sosial). 

Imam Ahmad bin Hanbal misalnya, menyatakan berperang (jihad) di jalan Allah adalah kewajiban setiap individu bagi seluruh manusia, berbeda dengan Ibnu Qudamah yang menyebut berjihad sekadar "fardhu kifayah" yang ketika sudah ada yang melaksanakannya, gugur kewajiban setiap individu mengikutinya.

Fatwa ulama NU soal "fardhu 'ain" untuk memilih salah satu kandidat tentu saja tak mempunyai kekuatan hukum tetap, tetapi hanyalah "pilihan" dan bersifat suka rela. Sangat berlebihan jika seolah fatwa dikategorikan sebagai ujaran kebencian yang merugikan kandidat lainnya, padahal fatwa bisa saja dianulir atau diubah sesuai dengan kondisi sosial yang ada. 

Terlebih, ini terkait dengan politik, yang sulit dibedakan mana sekadar fatwa keagamaan yang berimplikasi langsung pada praktik ritual keagamaan dan mana yang merupakan dukungan politik. Walaupun memang semestinya, para ulama tak seharusnya dengan mudah mengeluarkan fatwa hanya demi kepentingan politik bukan semata-mata demi kemaslahatan agama yang lebih besar.

Saya kira, NU memang sudah terlalu jauh masuk dalam lingkaran politik kekuasaan, bahkan tak hanya sekadar dalam Pilkada karena sudah merambah pada soal dukungan kandidat di Pilpres. Sulit untuk tidak mengatakan, keberadaan NU pada semua tingkatan seringkali menunjukkan wajah pertentangan dan perbedaan dalam menyikapi pilihan politik. 

Kegelisahan ini diungkap oleh Wakil Rais Aam PBNU, KH Miftahul Akhyar dalam suatu perhelatan Halal bi Halal Keluarga Besar Nahdliyyin di Surabaya. Dalam laman Kompas.com, dirinya sangat prihatin melihat kondisi warga NU yang terus menerus diseret dalam kegiatan politik praktis. "Di NU tidak pernah rebutan untuk menjadi imam. Biasanya semua jamaah saling mempersilahkan jamaah lain untuk menjadi imam," demikian ungkapan keprihatinannya soal NU. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun