Rumitnya menegakkan kalimat "damai" di negeri kelahiran para nabi ini, mungkin saja ditangkap oleh Yahya untuk mencoba "meruwat" perdamaian dengan cara lain: masuk dalam forum diplomasi tak resmi atas nama pribadi, menyuarakan perdamaian melalui forum bergengsi, sembari menjelaskan soal hubungan keagamaan antara Yahudi dan Islam yang sejauh ini dinilai senantiasa berkonflik.Â
Saya sendiri beropini, bahwa Yahya memiliki keyakinan bahwa perdamaian Israel-Palestina mampu terwujud walaupun tak semudah membalik telapak tangan. Mungkin dalam hal ini, Yahya mencoba mengimplementasikan sebuah adagium "ma la yudroku kulluh la yutroku kulluh" (jika tidak mungkin mendapatkan semuanya, maka jangan ditinggalkan seluruhnya). Jika tak mungkin mencapai kesepakatan damai, minimal bicara perdamaian sudah merupakan upaya ke arah mewujudkan perdamaian tersebut.
Sejauh ini, penyelesaian konflik Israel-Palestina seringkali ditunjukkan dengan cara-cara "kekerasan" yang justru dilakukan kedua belah pihak.Â
Opini yang terbentuk dalam benak masyarakat dunia, betapa Israel sebagai bangsa yang arogan karena mendapat dukungan kuat dari negara-negara Barat, lalu dengan leluasa mencaplok sedikit demi sedikit wilayah Palestina. Israel dikenal sebagai negara yang tak taat perjanjian, namun lagi-lagi hal itu terkait erat dengan penyelesaian konflik yang terkadang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Perseteruan Israel dengan kelompok Hamas Garis Keras di Palestina tampaknya memicu suasana keruh penciptaan suasana penyelesaian konflik secara damai diantara keduanya.
Kita juga semestinya melihat secara jernih polemik ini, agar tidak jatuh pada tuduhan-tuduhan menyakitkan yang dialamatkan kepada pihak yang juga mendukung Yahya berbicara soal perdamaian di forum Israel. Berpendapat itu bebas dan perlu dihargai, karena suatu kebenaran pendapat tentu saja bersifat tentatif dan tidak mutlak.Â
Tak mungkin kita memaksakan agar orang lain sama pendapatnya dengan kita, karena setiap orang pasti memiliki asumsi-asumsi sendiri yang berasal dari daya nalarnya yang sehat. Tak ada klaim kebenaran soal pendapat atau opini karena setiap perbedaan itu sunnatullah dan sesuatu yang given yang pasti hadir dalam sejarah kehidupan manusia. Peradaban dan ilmu pengetahuan tentu akan mandek dan stagnan ketika tak terjadi lagi perbedaan pendapat diantara manusianya. Â
Namun demikian, sangat disayangkan jika kedatangan Yahya di forum pendukung eksistensi Israel justru menambah besar sisi polemiknya. Bukankah sebuah adagium terkenal yang dipegang kalangan NU soal kepolitikan yang lebih mendahulukan untuk menolak polemik atau kekacauan (dar'ul mafasid muqaddamun) daripada berpikir untuk menciptakan perdamaian atau kemaslahatan ('ala jalbi al-masholih) senantiasa diaktualisasikan hingga kini? Kecuali jika pergeseran kepolitikan NU telah merubah segalanya tak tak lagi berpegang teguh pada tradisi ke-NU-an yang justru sebelumnya mengurat akar dalam budaya politik NU.Â
Saya tak bisa beropini tegas dalam hal ini, kecuali mengingatkan sebuah kaidah ushul fiqih sebagaimana disebutkan diatas, bahwa menghindari kekacauan atau kerusakan yang lebih besar harus didahulukan daripada sekadar menciptakan maslahat atau perdamaian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H