Sangat naif kiranya, jika kemudian ada yang menyebut Ngabalin insyaf dan menyesal karena dulu berseberangan dengan pemerintah. Dalam politik tak ada kawan atau lawan abadi, keduanya dapat saling menggantikan yang tentu saja seorang politisi lebih tahu, kapan dirinya menjadi kawan dan kapan menjadi lawan.
Keberadaan Ngabalin di Istana saat ini, memang tampak dipersiapkan untuk merebut simpati kalangan Islam yang disinyalir "garis keras". Bukan apa-apa, surban yang senantiasa melilit di kepalanya adalah "simbol" yang lebih diterima oleh kalangan Islam tertentu.
Bukan suatu kebetulan, Istana sepertinya mulai sibuk memasang tokoh-tokoh yang menjadi representasi beragam kalangan Islam, dari mulai yang "lunak", "sedikit keras", bahkan "garis keras".
Mendikotomisasikan kalangan muslim seperti ini bukan berarti bahwa umat muslim di negeri ini tampak saling bertentangan, tetapi karena sedemikian kayanya perbedaan-perbedaan politik tak ubahnya dengan ragam budaya dan adat di negeri ini yang juga sangat kaya. Saya kira, bukan hal yang aneh ketika Istana juga turut andil untuk mempersiapkan langkah-langkah politik yang akan mengawal Jokowi hingga ke pelaminan Pipres 2019.
Melihat fenomena peta kekuatan politik Islam dalam pilpres 2019 nanti rasanya akan lebih menarik dibanding pilpres 5 tahun sebelumnya. Jika dulu kekuatan Islam tak diperhitungkan, maka di pilpres kali ini, Islam politik seakan "ditakuti" oleh kekuasaan, sehingga banyak cara yang kemudian dilakukan penguasa agar Islam politik tak ditakuti sebagaimana mestinya. Termasuk membuat suasana lingkaran politik Istana tampak "dihidupkan" oleh beragam representasi kekuatan politik Islam yang ada.
Diakui ataupun tidak, Istana tentu saja khawatir dengan berbagai gerakan Islam politik yang saat ini kian menguat akan berpengaruh terhadap citra politik Jokowi jelang pilpres nanti.
Sulit untuk menjelaskan secara sederhana, ketika pihak Istana mulai menggeler berbagai pertemuan dengan seluruh kekuatan ormas Islam, baik yang pro maupun kontra. Istana seperti menjadi ajang perhelatan terbesar sepanjang sejarah bagi umat Islam, karena seluruh komponennya pernah diundang dan diajak duduk bersama, tak terkecuali. Seluruh perwakilan ormas Islam, akademisi, politisi, bahkan hingga mubalig sepertinya semakin dimanjakan dan diistimewakan pihak Istana.
Tak ada rasanya kekuatan politik yang saat ini paling dikhawatirkan Istana, kecuali kalangan Islam yang terkadang sulit diajak bekerjasama. Maka, perlu dibangun komunikasi politik secara lebih intensif agar dapat menyamakan persepsi antara pihak penguasa dan kalangan umat Islam.
Maka, disini pentingnya kemudian pihak Istana menempatkan tokoh-tokoh yang dapat menjadi representasi dari berbaga kalangan Islam politik. Mereka akan terus melakukan komunikasi dan menjaring berbagai aspirasi politik yang dapat diserap dari berbagai kalangan Islam. Jadi, jika muncul wajah-wajah baru di Istana lalu dikaitkan sebagai representasi kalangan Islam, ini tentu saja pertanda perhelatan politik nasional semakin dekat dan Istana sudah mulai siap-siap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H