Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Memahami Puasa Esoteris

27 Mei 2018   16:48 Diperbarui: 27 Mei 2018   17:05 471
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Theodore Roszack, seorang tokoh mistik pernah mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat ruang batin (spiritual) yang kalau ruang ini tidak diisi oleh hal-hal baik, secara otomatis akan diisi oleh hal-hal buruk. Inilah barangkali yang dimaksud al-Quran sebagai "zuyyina suu'u 'amalihi" (perhiasan keburukan yang ada pada diri manusia) yang jika tidak diisi dengan kebaikan, akan menganggap pekerjaan buruknya menjadi baik.

Misi esoterisme puasa, sesungguhnya akan menyasar dimensi batiniah atau ruhaniah, karena ruh merupakan eksistensi yang paling tinggi yang ada dalam diri manusia. Kita tentu saja sama dengan binatang pada dua tingkat, yaitu jasmani dan nafsani, namun tidak pada tingkat ruhaniahnya karena binatang tidak memiliki roh!

Roh sesungguhnya bukan yang membuat sesuatu hidup, tetapi justru lebih tinggi daripada hidup. Keistimewaan manusia dibanding mahluk hidup lainnya adalah karena "sebagian" roh Tuhan ditiupkan kepadanya, "tsumma sawwahu wa nafakha fiihi min ruuhihi" (kemudian Dia menyempurnakan dan meniupkan sebagian ruh-Nya, QS. 32:9).

Puasa dalam perspektif esoteris adalah jalan memasuki alam psikologis dan rohani dalam kedirian manusia, agar mampu mengharmonisasikan antara fisik dan psikis, jasmani dan rohani. Prinsip harmonisasi dalam hidup adalah ketakwaan, sebagaimana juga yang disasar dalam praktik dan aktivitas berpuasa seseorang. Manusia dalam perspektif besar alam raya (makro kosmos) adalah dimensi yang mewakilinya (mikro kosmos).

Seluruh alam perlu keseimbangan dan keharmonisan, termasuk didalamnya manusia. Satu-satunya ibadah yang dapat membentuk "keseimbangan" dan "keharmonisan" bagi dirinya sebagaimana disebut al-Quran hanyalah puasa dengan pesan-Nya "la'allakum tattaquun" (agar menjadi insan yang bertakwa).

Memahami puasa dalam perspektif esoterisme memang sesungguhnya adalah tujuan utama, agar manusia mampu menyeimbangkan seluruh sisi kehidupannya. Menahan diri secara fisik dalam kondisi lapar dan haus, memang tampak seperti "kesengsaraan", padahal justru mengekang dan menyeimbangkan nafsu duniawiah manusia.

Di sisi lain, ketika terus berupaya melampaui dimensi fisik kepuasaan seraya menghadirkan suasana batin dengan menghadirkan eksistensi dzikir kepada Tuhan, maka manusia sesungguhnya disadarkan akan "jalan pulang" kembali kepada-Nya.

Tuhan adalah "asal" dan "tujuan hidup"---inna lillahi wa inna ilaihi raji'un---sehingga lupa kepada Tuhan sama halnya kita melupakan diri kita sendiri. Bukankah Allah telah memperingatkan, "wa laa takuunu kalladziina nasullaaha fa ansaahum anfusahum" (Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri)? Wallahu a'lam.  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun