Salah satu tokoh politik kawakan di era Reformasi, Sri Bintang Pamungkas kembali dilaporkan kepada polisi, karena pidatonya yang dianggap menyulut ujaran kebencian kepada umat Islam. Namun, yang melakukan pelaporan adalah Ketua Umum Pusat Persaudaraan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Ipong Wijaya Kusuma, karena warga muslim keturunan Tionghoa merasa "terhina" atas isi pidato Sri Bintang yang menyebut mereka sebagai kalangan yang hanya "pura-pura" Islam. Tidak hanya itu, Sri Bintang juga nampaknya menuduh Presiden Joko Widodo sebagai orang yang senasib dengan kalangan muslim Tionghoa, dianggap "pura-pura" Islam.
Saya jadi teringat, ketika Buya Hamka ditentang oleh sekelompok muslim disaat hendak mensalatkan jenazah Bung Karno. Sebagian orang menyatakan bahwa Bung Karno itu "pura-pura" Islam atau dalam bahasa agama disebut "munafik". Lalu apa jawaban Hamka? Dirinya mengatakan, "Dulu ketika Rasulullah dilarang menyolati orang munafik karena didasarkan atas wahyu yang langsung turun kepadanya. Lha, saya gak menerima langsung wahyu dari Allah, apakah Bung Karno munafik atau bukan?" lalu, Buya Hamka-pun mensalati jenazah Bung Karno, sang Proklamator Republik Indonesia.
Cerita ini justru sangat inspiratif, dimana perseteruan politik antara Hamka dan Soekarno yang sedemikian tajam, tak sampai kemudian memunculkan tuduhan-tuduhan yang keji antarsatu dan lainnya.Â
Buya Hamka jelas merupakan ulama mumpuni dan patut menjadi contoh masyarakat, memiliki pendirian yang tegas soal kriteria munafik yang hanyalah menjadi wilayah prerogratif Allah dan bukan hak manusia menilainya. Larangan Allah agar Rasulullah tidak mensalati orang munafik, karena kekhawatiran doa beliau yang maqbul, sehingga tidak selayaknya Rasulullah ikut mendoakan orang-orang munafik.
Persoalan ini justru menjadi semakin pelik belakangan ini, bahkan beberapa waktu lalu sempat heboh karena muncul spanduk-spanduk yang melarang umat muslim mensalati jenazah orang-orang yang berbeda pandangan politik karena dianggap sebagai kelompok munafik.Â
Hal ini seolah-olah, dirinya lebih tahu soal siapa yang kafir, munafik, atau musyrik, padahal sesungguhnya klaim tersebut hanyalah hak Allah dan Rasul-Nya saja yang paling mengetahui. Bukankah telah jelas bahwa Al-Quran menyebutkan: "Sesungguhnya Tuhanmu, Dialah yang paling mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dia pulalah yang paling mengetahui siapa yang mendapat petunjuk" (QS An-Najm: 30). Tak ada yang berhak mengklaim sesat atau bahkan menilai seseorang telah mendapat petunjuk-Nya, karena hal itu hanyalah wilayah Allah.
Lagi pula, tuduhan Sri Bintang kepada pihak yang disebut dirinya "pura-pura" Islam tak lebih hanyalah ungkapan emosi yang sama sekali tak berlandaskan nilai-nilai agama.
Emosi yang didasari hawa nafsu kekuasaan politik, tentu saja dengan mudah "membutakan" siapa saja dalam hal menolak atau mendukung pihak-pihak penguasa. Jika dulu di era Reformasi Sri Bintang tampak garang menyuarakan pertentangan dengan penguasa dengan bahasa-bahasa politik tandingan, kini bahasa itu tak lagi laku, sehingga dirinya mencoba bermain dengan bahasa agama yang kemudian "dipolitisasikan". Bahasa agama, mungkin sedikit lebih ampuh untuk menandingi narasi bahasa kekuasaan, meskipun pada akhirnya seringkali salah sasaran.
Bagi saya, tuduhan atas kemunafikan atau mereka yang disebut "pura-pura" Islam jelas merupakan tuduhan yang keji yang tak dapat ditoleransi dalam perspektif agama. Hal ini sangat jelas, ketika Imam Ghazali mengingatkan dalam sebuah karyanya, "Bidayah al-Hidayah" bahwa tak ada seorangpun yang tahu soal apa yang tersembunyi dalam hati manusia, kecuali hanya Tuhan yang paling mengetahuinya. "Wa laa taqtha'u bisyahadatika 'ala ahadin min ahlil qiblati bisyirkin aw kufrin aw nifaaqin" (Jangan kau memvonis syirik, kafir, atau munafik kepada seseorang ahli kiblat atau orang muslim). Bahkan, Al-Ghazali menyebutkan, tak ada peristiwa di hari Kiamat dimana seseorang ditanyakan, kenapa dirinya tidak mengutuk si Anu? Atau mengapa kau diam saja soal si Anu? Tetapi justru akan dimintai pertanggungjawaban ketika seseorang melaknat atau menuduh mahluk Allah kelak di Hari Kiamat. Â
Entah kenapa, belakangan bahasa agama tampil menjadi narasi politik paling ampuh yang seringkali  dipergunakan oleh banyak politisi senior, seolah-olah mereka para punakawan yang "turun gunung" ingin memperbaiki kondisi kepolitikan negeri ini. Padahal, mereka sekadar melemparkan tuduhan-tuduhan yang justru menunjukkan betapa mereka sudah tampak lelah sehingga seringkali salah sasaran.
 Ketajaman insting politik mereka jelas sangat jauh berkurang dibanding era Reformasi dulu, dengan tentu saja nuansa dan suasana kepolitikan yang sangat jauh berbeda. Itulah kenapa, bahasa agama dianggap paling ampuh dipergunakan sebagai narasi politik, sekadar untuk memperlihatkan dan menunjukkan bahwa insting politik para begawan ini masih eksis mengkritisi kekuasaan. Â