Diskusi dan peluncuran buku "NU Penjaga NKRI" yang dihadiri langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj, nampaknya juga merefleksikan bagaimana sikap NU terhadap kekuasaan. Saya menyebutnya sebagai bagian dari refleksi politik, karena memang sangat berdekatan dengan ajang tahun politik.
Buku ini disebut oleh editornya Iip D Yahya, sebagai refleksi perjalanan panjang NU sebagai ormas Islam dalam mengawal NKRI. Buku ini memuat kumpulan tulisan tentang NU yang erat kaitannya dengan prinsip politik kebangsaan dan ke-Indonesia-an.
Saya sendiri belum membaca bukunya, namun paling tidak, pandangan-pandangan Kiai Said sebagai keynote speaker dalam acara tersebut, cukup mewakili refleksi politik NU terhadap kekuasaan dan isu-isu kekinian.
Berbagai isu politik yang berkembang, dikomentari oleh Kiai Said bahkan tampak begitu kontras: NU mendukung --untuk tidak disebut akomodatif-- terhadap kekuasaan, bahkan hampir tanpa reserve dan di sisi lain, mengkritik pihak-pihak oposisi yang kontra terhadap penguasa. Aksi 212, disebut Kiai Said, sarat kepentingan politik.
Agama sekadar dijadikan alat kepentingan, seperti tampak pada praktik Jumatan yang digelar di Monas bukan di masjid. Para  pendukung Aksi 212 pun tak luput dari kritiknya.
Pernyataan Amien Rais menyoal 74 persen lahan yang dikuasai asing di era pemerintahan Jokowi, dinilainya sebagai tudingan salah alamat.
Begitu pula kritiknya atas pidato politik Prabowo yang menyebut Indonesia bubar pada 2030 dinilainya sebagai fiksi yang tak sesuai dengan semangat keagamaan sebagaimana tertuang dalam Kitab Suci.
Meskipun tidak semua kritik Kiai Said secara keseluruhan benar-benar mewakili refleksi politik NU, namun paling tidak, NU "struktural" secara jelas memposisikan kemana arah dukungan politiknya. Sulit rasanya untuk membedakan, mana pendapat pribadi Kiai Said dan mana sikap politik NU dalam konteks ini.
Tetapi ketika labelisasi "ndablek" ditujukan pada dirinya sendiri, mungkin saja pernyataan kritiknya mewakili sikap pribadinya sebagai warga negara dan tidak dalam kapasitas mewakili mayoritas NU.
Mayoritas NU memang tampak cenderung diam, mengingat diam lebih selamat daripada mengumbar pernyataan yang akhirnya menuai polemik di tengah masyarakat.
Perlu rasanya sedikit menengok ke belakang, di mana sikap NU dalam konteks besar politik kebangsaan sangatlah jelas: nasionalis-religius, anti kolonialisme, namun tetap akomodatif terhadap kekuasaan.