Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Masihkah Menyoal Puisi Sukmawati?

6 April 2018   15:36 Diperbarui: 6 April 2018   15:40 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Gaduh soal puisi yang dibacakan Putri Proklamator RI, Sukmawati Soekarnoputri ternyata masih terus bergulir, meskipun yang bersangkutan telah meminta maaf. Bahkan, ketika Sukmawati sowan ke kantor MUI, dirinya diterima dengan baik bahkan KH Ma'ruf Amin selaku Ketua Umum MUI tampak berbesar hati memaafkan. 

Foto Sukmawati cium tangan Kiai Ma'ruf, tampak beredar menghiasa berbagai media, pertanda MUI sudah "melupakan" soal puisi "Ibu Indonesia" yang dianggap telah menyinggung perasaan umat Islam. Kiai Ma'ruf nampaknya menyadari, bahwa memaafkan tentu saja ajaran agung yang selalu dipraktikkan Nabi Muhammad, bahkan "saling memaafkan" tentu saja ciri utama mereka yang bertakwa kepada Tuhan.

Lain halnya dengan Persaudaraan Alumni (PA) 212 yang menganggap MUI tidak adil karena dengan mudahnya memaafkan Sukmawati. Bahkan, dalam sebuah rilis media, Humas PA 212 yang diwakili Novel Bamukmin menyatakan, bahwa masalah ini bukan menjadi kapasitas umat Islam yang memaafkan, tetapi hak Tuhan (cnnindonesia.com, 06/04/2018). 

Pernyataan ini, bagi saya memiliki persoalan, karena seharusnya jika sudah menjadi hak Tuhan, maka selesailah urusan dan manusia tidak berhak menentukan, seseorang berdosa atau tidak. Kewajiban manusia---menurut saya---adalah meminta maaf jika ada kesalahan dan setelah itu semuanya serahkan kepada Tuhan.

Lagi pula, sebagai muslim saya meyakini, bahwa salah satu sifat Tuhan yang disebut dalam kitab suci Al-Quran adalah "Al-Ghaffaar" (Maha Pemaaf). Menarik sebenarnya jika mengupas sifat Tuhan yang satu ini, karena kata "ghaffaar" merupakan "sighat mubalaghah" (sesuatu hal yang bermakna 'paling' atau ada 'penekanan' kata berkonotasi 'banyak' didalamnya). Oleh karena itu, kata "ghaffaar" yang terambil dari asal kata "ghafara" (memberikan maaf) sesungguhnya memiliki kototasi "banyak maafnya" (katsiirulghufraan), bahkan akan "menutupi kesalahannya setelah memberikan maaf" (satru wa al-musamahah). Tuhan tentu saja tak sekadar "memaafkan" tetapi akan "menutupi" kesalahan yang dilakukan seseorang.

Saya teringat akan sebuah ungkapan Nabi Muhammad yang sedemikian terkenal, "Jangan marah, jangan membenci" (la taghdlab) bahkan diulang kata-katanya sebanyak dua kali dihadapan para sahabat-sahabanya. Bahkan, dalam banyak kesempatan Nabi selalu mengingatkan, bahwa sesama muslim harus saling menutupi kesalahan, bukan mengumbarnya dan lebih jauh, Nabi mewasiatkan bahwa seorang muslim yang baik adalah mereka yang mau menyelamatkan muslim lainnya dari kesalahan, baik karena ucapan atau perbuatannya (man salima al-muslimuuna min lisaanihi wa yadihi). Saya kira, Kiai Ma'ruf benar-benar menjadi tauladan umat saat ini, karena dengan besar hati memaafkan kesalahan sesama muslim sekaligus menutupinya dari kesalahan lain.

Walaupun saya secara pribadi, tetap menghormati setiap proses hukum yang sedang berjalan, tetapi memaafkan tentu lebih baik, karena itulah sebenarnya sikap seorang muslim yang sesuai syariat Islam. Saya tidak sedang melakukan pembenaran dalam soal agama, tetapi inilah bagian dari agama Islam yang sejauh ini saya pahami. 

Memberikan maaf, tentu sangat sulit, apalagi melupakan kesalahan orang lain yang nyata-nyata menyakiti kita sendiri. Saya justru berasumsi, bahwa ketika Nabi Isa AS menyatakan, "kebaikan itu bukan karena adanya pihak lain berbuat baik kepada kita, tetapi karena pihak lain berbuat buruk kepada kita", justru ini pula yang kemudian meresap menjadi bagian terpenting dalam diri Nabi Muhammad, selalu memberi maaf kepada siapapun tanpa membeda-bedakan tingkat kesalahannya seperti apa.

Saya sendiri mengagumi upaya yang dilakukan Kiai Ma'ruf, karena tentu saja ini merupakan cermin paling jelas dari sikap seorang muslim yang paling baik: menahan marah dan tentu saja memaafkan. 

Secara tegas, sikap ini digambarkan oleh Al-Quran sebagai sifat ketakwaan, dimana salah satu cirinya adalah menahan marah (al-kaadhimiin al-ghaydh) dan memaafkan antarsesama (al-a'fiina 'aninnaas). Surat Ali Imran ayat 34 menyebutkan, "(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan".

Setiap kesalahan tentu saja masuk didalamnya unsur kekhilafan, kesengajaan, ketidaktahuan yang bercampur menjadi satu. Tak ada manusia yang tak pernah bersalah, bahkan Nabi Muhammad-pun pernah bersalah, walaupun setiap kesalahan seorang nabi langsung dapat teguran dari Tuhan. Oleh karenanya, disebut "manusia" yang jelas diadopsi dari itilah bahasa Arab, "an-naas" atau "al-insan" yang kedua kata ini memiliki konotasi "lupa" (nasiya). 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun