Tiga tahun yang lalu, saya ditawari umrah oleh salah satu travel kecil yang mungkin tidak terlalu terkenal tetapi memberikan pelayanan yang cukup memuaskan. Proses dari mulai pendaftaran, pembayaran, hingga pengurusan visa, tak lebih dari 10 hari dan saya berangkat bersama 40 jamaah umrah dengan pesawat Saudia langsung Jakarta-Madinah.
Tak ada janji-janji muluk, atau ungkapan-ungkapan manis soal bagaimana nanti selama di Tanah Suci, hanya menjelaskan dalam satu kali pertemuan soal gambaran sejumlah kondisi yang harus diketahui para jamaah. Waktu itu, saya dikenai biaya umrah sekitar 2400 US dolar---sekitar hampir 33 juta rupiah---harga itu saya kira sangat masuk akal jika menghitung biaya tiket pulang-pergi, hotel, dan makan selama 9 hari di Tanah Suci.
Saat ini, masyarakat Indonesia seringkali tergiur dengan biaya umrah murah, padahal untuk beribadah seharusnya tidak berpijak pada soal untung-rugi. Umrah, tentu saja ibadah, bukan sekadar travelling atau hiburan semata sekadar ingin menapakkan kaki di Tanah Kelahiran Nabi. Belakangan ini, umrah menjadi tren kaum muslimin di negeri ini, di mana seakan-akan, jika belum berumrah, tidak lengkaplah status keislaman seseorang.
Hampir setiap hari ---di luar bulan-bulan syawal, Dzulqa'dah dan Dzulhijjah--- Mekah dan Madinah ramai dikunjungi jamaah umrah asal Indonesia, sampai-sampai hampir semua pedagang di Arab Saudi hafal bagaimana melafalkan dagangan mereka dengan berbahasa Indonesia.
Jika ingin beribadah dengan khusyuk, berumrahlah secara wajar, dengan melihat biaya sewajarnya ke Tanah Suci. Segala iming-iming harga murah, terlebih berangkat dengan jeda waktu tertentu, seharusnya dipahami bahwa mungkin saja didalamnya akan timbul masalah.
Semoga kasus First Travel, SBL, dan Abu Tours menjadi pelajaran sangat berharga, sehingga kaum muslim tak lagi masuk perangkap para travel nakal yang menjalankan penipuan berkedok ibadah.