Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Cadar dan Radikalisme di Kampus

8 Maret 2018   11:31 Diperbarui: 8 Maret 2018   19:59 2300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Heboh soal larangan memakai cadar di Universitas Islam Negeri (UIN) Yogyakarta, seakan mengalami puncaknya, padahal, jauh sebelum ini pada tahun 2017 lalu, di kampus UIN Jakarta, seorang staf pengajar pernah diberhentikan karena terus "ngeyel" memakai cadar dalam setiap kali aktivitas mengajarnya.

Cadar seakan menjadi polemik yang kemudian "dipolitisasi" seakan-akan mereka yang melarang penggunaan cadar dianggap "liberal" atau bahkan melakukan pelanggaran HAM. Padahal, liberal dalam beberapa hal itu perlu, sebagai wujud kebebasan berpikir selama seluruh argumentasinya dapat dipertanggungjawabkan. Pun soal HAM yang dibidik pada persoalan kebebasan beribadah, rasanya kurang tepat, karena cadar bukan ibadah, tetapi bagian dari ekspresi kebebasan berpakaian seseorang.

Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pernah merilis sebuah penelitian pada 2011 lalu, bahwa 5 perguruan tinggi negeri ternama telah disusupi paham radikal. Bahkan, tahun 2016 lalu, LIPI juga menyatakan hasil risetnya, bahwa 86 persen mahasiswa yang berasal dari beberapa kampus besar di Pulau Jawa menolak ideologi Pancasila dan menginginkan penegakkan syariat Islam (lipi.go.id, 19/2/2016). 

Inilah barangkali yang menjadi acuan rektor UIN Yogyakarta melalui pernyataannya bahwa patut diduga mahasiswa yang bercadar menganut Islam yang berlawanan dengan Pancasila, UUD 1945, dan Islam moderat di Indonesia (tirto.id, 07/3/2018). Fenomena cadar di kampus, seakan menjadi "pemicu" meningkatnya radikalisme yang justru kian marak di kampus-kampus.

Benarkah fenomena cadar terkait erat dengan peningkatan radikalisme di kampus? Memang sangat simplistik jika membuat kesimpulan bahwa mereka yang memakai cadar cenderung "radikal" dibanding yang tidak. Untuk mengukur tingkat radikalisme, sangat banyak indikator yang harus dipakai, bahkan terkadang indikator-indikator tertentu cenderung tendensius bahkan mungkin prematur. Seperti misalnya, untuk mengukur seseorang toleransi atau intoleransi, diujikan dengan indikator seberapa sering seseorang mendengarkan berita keagamaan atau seberapa sering dirinya pergi ke masjid. Beberapa indikator penelitian ini tentu saja "tendensius" sehingga mengukur tingkat intoleransi dengan radikalisme belum tampak sepenuhnya utuh dan komprehensif.

Kita lupakan soal banyaknya penelitian soal intoleransi agama, karena hasil riset ini pun mendapatkan banyak kritik dari beragam pihak, sehingga belum sepenuhnya menjadi ukuran baku yang patut dipublikasikan.

Namun yang pasti, mengukur penggunaan cadar oleh mahasiswa di kampus ---saya kira--- belum dapat disimpulkan sebagai terindikasi radikalisme. Walaupun memang sulit untuk tidak mengatakan bahwa, ekspresi seseorang yang memakai cadar, tidak semata-mata kesadaran dari dalam dirinya sendiri, namun lebih banyak terpengaruh oleh pemahaman agama yang cenderung ekstrem dan tidak moderat. Bagaimana tidak, kewajiban dalam syariat Islam, tentu saja adalah jilbab ---dengan beragam perluasannya--- yang pada umumnya yang boleh terlihat dari seorang wanita mukmin hanyalah "wajah" dan "telapak tangan", tidak tertutup semuanya.

Memang sulit dipungkiri, soal cadar ini sangat sensitif, terlebih di tengah kondisi masyarakat yang sedemikian curiga terhadap berbagai pihak yang menginginkan negara ini menjadi "liberal", tak ubahnya negara-negara Barat yang telah lebih dulu menganut paham liberalis. Isu liberal dan politisasi agama ini seakan menjadi arus utama yang sedemikian menguat ditengah ekspresi politik umat Islam Indonesia. Sehingga yang terjadi justru "benturan" di antara sesama umat Islam sendiri. Dapat dibayangkan, soal umrah saja yang dilakukan pihak-pihak tertentu yang mengekspresikan kecintaannya kepada Tanah Air dengan menyanyikan lagu "yaalal wathon" atau meneriakkan Pancasila di tengah-tengah ibadah sai, terus "digoreng" menjadi isu politik yang semakin menajam.

Entah, apakah ini erat kaitannya dengan tahun politik ditengah semaraknya pilkada dan sebentar lagi pilpres, namun yang jelas fenomena "benturan" itu terus menguat dan masing-masing pihak sulit ditarik ke arah titik temunya. Hal ini diperkeruh oleh ungkapan-ungkapan pro kontra yang terus membanjiri media konvensional dan sosial yang masing-masing tampak mempertahankan argumentasinya.

Ruang-ruang diskusi pro-kontra saat ini berpindah ke jalur media sosial yang justru semakin sulit dikontrol, sehingga terus menerus membelah opini masyarakat. Maka tak heran, soal apa saja, baik politik, hukum, agama, bahkan soal kebijakan kampus, sudah tidak lagi menjadi milik otoritas kampus untuk mengaturnya, tetapi publik sudah ikut menentukkan kemana arah kebijakan sebuah kampus semestinya diarahkan.

Bagi saya, cadar adalah persoalan "furu'iyyah" (cabang dalam agama) dan bukan "ushuliyyah" (pokok dalam agama), sehingga bercadar maupun tidak tentu saja pilihan masing-masing. Cadar yang kemungkinan terjemahan dari istilah "niqab" dalam bahasa Arab, memiliki konotasi yang sama dengan makna "jilbab" dalam terminologi syariat Islam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun