Jilbab erat kaitannya dengan tradisi bangsa Arab, sehingga banyak sekali definisi yang berbeda. Terkadang istilah ini disebut "khimar"; (kerudung); atau "milhaf" (selimut); atau juga "niqab" (cadar). Yang jadi persoalan kemudian, manakah batasannya berjilbab itu? Apakah wajahnya boleh terlihat atau ditutup semua hingga hanya mata yang terlihat? Itulah aspek budaya, bagaimana setiap orang mempunyai persepsinya sendiri-sendiri secara berbeda, disesuaikan dengan landasan syariat Islam yang telah ada.
Alangkah baiknya kita-pun tak terlampau alergi terhadap sebuah kebijakan, apalagi kebijakan tersebut tak berdampak serius terhadap ekspresi kebebasan seseorang. Saya kira, memakai jilbab bagi perempuan beriman sudah cukup, sebagai ekspresi sikap keberagamaan mereka, tanpa harus melebih-lebihkannya dengan menggunakan cadar.
Saya mengapresiasi ungkapan Prof Mahfud MD dalam akun twitter-nya yang menyebutkan, "Tidak ada yang berhak melarang orang menutupi diri dengan berpakaian apa saja. Tapi jangan menista orang dengan berpakaian biasa dengan melanggar agama. Pakaian itu boleh apa saja, asal sopan saja".
Saya justru khawatir, nanti timbul isu yang berkembang, menyoal cadar dilarang, tetapi pakaian tak sopan dibiarkan. Inilah yang kemudian menjadi dampak dari "goreng-menggoreng" isu yang belakangan semakin melampaui batas yang keseluruhannya seperti tampak bicara agama, padahal urusan dunia.
Saya kira, UIN Yogyakarta juga harus menjelaskan kepada publik, alasan-alasan logis yang dapat diterima semua pihak, soal mengapa diberlakukan soal larangan cadar. Membuat kebijakan, tentu saja harus mengandung aspek kemanusiaan demi tujuan-tujuan kemaslahatan bukan melanggarnya.
Sejauh ini, ungkapan-ungkapan nyinyir soal UIN yang memang kampus berbasis pendidikan agama Islam, selalu dimanfaatkan menjadi isu-isu politik demi kepentingan-kepentingan bisnis dan keekonomian. Padahal, sejauh ini, UIN selalu mempromosikan nilai-nilai moderat ajaran Islam yang ditunjukkan oleh beragam jurusan dan konsentrasi bidang keagamaan, walaupun belakangan minat terhadap jurusan keagamaan di UIN jelas relatif menurun, dibanding ketika UIN masih menjadi IAIN. Ketika sudah sepi peminat terhadap jurusan keagamaan saja, UIN masih terus dipersepsikan sebagai kampusnya orang-orang "liberal". Marilah berpikir dan bersikap moderat (tasamuh, adil, tawazun), karena hanya itu yang akan mendekatkan seseorang kepada takwa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H