Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

PSI, Ajian Semar Mesem, dan Budaya Politik

5 Maret 2018   16:17 Diperbarui: 5 Maret 2018   19:04 1766
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jika benar bahwa PSI adalah sekumpulan anak muda yang hasrat politiknya sedemikian membara, maka janganlah lupa ada etika yang senantiasa dibawa agar tetap menjadi citra baik dalam suasana berpolitik. Belum juga apa-apa, PSI sudah dilaporkan oleh parpol lain, karena hasrat politiknya telah mengalahkan etika dan malah menjadi sebuah "perang terbuka".

Memang, berpolitik itu menyusahkan, "Leiden is Lijden!", demikian kira-kira ungkapan KH Agus Salim yang jika diartikan bebas kira-kira, "menjadi pemimpin atau berpolitik itu berat dan menderita", jadi wajar jika salah sedikit saja sudah siap dengan resiko-resiko sulit yang harus dihadapi. Hal ini nampaknya mulai menjadi bulan-bulanan PSI, termasuk menempatkan nama Sunny Tanuwidjaja---mantan staf Ahok---yang juga dikritik setelah diketahui masuk dalam jajaran dewan pembina partai. 

Hal ini juga yang membuat sang sekjen partai, Raja Juli Antoni tampak sibuk memberikan komentar dan klarifikasi dalam berbagai media. Namun demikian, posisi PSI yang terkesan diatas angin, nampaknya tak bergeming, bahkan akan meladeni dengan "terharu" setiap gugatan dari pihak manapun yang mempersoalkan partai berlambang bunga mawar ini secara hukum.

Saya cukup salut dengan kumpulan anak muda cerdas dan pemberani yang tergabung dalam PSI, walaupun menilai parpol baru ini secara berlebihan, juga belum teruji secara baik dalam kancah kontestasi politik. Atau jangan-jangan, karena parpol ini memiliki "kedekatan" dengan penguasa, sehingga tampak terkesan menunjukkan kekuasaannya. 

Ya, mungkin saja, karena "ajian semar mesem" yang sejauh ini mampu "menaklukkan" mereka yang berkuasa dan sukses "menyalip" parpol-parpol lain yang sesungguhnya digawangi para "orang tua" yang sudah makan asam-garam dalam perhelatan dunia politik. Untungnya, parpol besutan Yusril Ihza Mahendra lolos dan diterima sebagai parpol peserta pemilu 2019, namun jika tidak, saya membayangkan, betapa tidak matangnya budaya politik di negeri ini.

Lalu, jika yang lain dapat lolos dan mendapatkan tiket ke gelanggang perhelatan kontestasi politik nasional dan yang lainnya tidak, apakah kira-kira tersangkut soal administratif? Saya kira, tidak semudah itu persoalannya. Membuat dan menekuni berdirinya parpol baru-baru ini, sudah pasti harus mempunyai dana yang tak mungkin sedikit, bisa berpuluh-puluh kali lipat dari sekadar mahar politik bagi seseorang menjadi kontestan politik. Saya kira, banyak parpol-parpol baru yang ditolak, lagi-lagi tak sekadar minimnya soal prosedural adminsitratif, tapi lebih kepada kurang modal, karena membuat partai bak membuat sebuah perusahaan multinasional. 

Jadi, berpikir modal politik saat ini justru lebih rasional daripada soal etika dan membangun nilai-nilai budaya politik yang dapat lebih mendewasakan masyarakat politik. Kecuali, jika memang terlebih dahulu mempelajari "ajian semar mesem" yang pada akhirnya mampu "menaklukkan" banyak pihak, termasuk para pemodal, penguasa, struktur dan lembaga-lembaga politik yang telah ada. Santunlah dalam berpolitik, kedepankan etika, untuk kematangan budaya politik kita!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun