Ketua MUI, KH Ma'ruf Amin juga nampaknya mengeluarkan pernyataan yang cukup "keras" perihal kekacauan yang diakibatkan ulah orang gila ini. "Harus diselidiki mana yang gila benar, apa mana yang nggak, sehingga membuat semua orang ikut 'gila' juga itu. Jadi supaya ditelitilah, diberi penjelasan," ujar Ma'ruf sebagaimana dikutip laman detik.com (28/2/2018).
Kenyataan banyak pihak yang ikut "gila" dalam merespons isu-isu yang semakin liar ini, memang semestinya secara cepat diantisipasi aparat, tidak terkesan tebang-pilih dalam mengambil mana kasus yang dikira "menjual" dan mana yang tidak. Kenyataan soal fenomena "orang gila" ini sudah sangat mengkhawatirkan, hingga salah satu dosen UIII pun diciduk aparat karena menyebarkan informasi hoaks seputar fenomena orang gila ini.
Kekhawatiran Kiai Ma'ruf bukanlah tanpa dasar, karena ini menyangkut keseriusan aparat yang hingga detik ini masih saja belum mengungkap apa maksud dari "kegilaan" yang melatarbelakangi pelaku kekerasan kepada para pemuka agama. Terlebih, ungkapan Kepala Staf Kepresidenan, Jenderal Moeldoko yakin otak di balik pelaku penyerangan terhadap ulama ini segera terungkap.
Bahkan dengan meyakinkan, dirinya sudah memahami betul modus operandi yang mengatasnamakan orang gila penyerang ulama ini yang dikaitkan dengan peristiwa "ninja" atau "dukun santet" yang sempat ramai pada medio tahun 1990-an. Pada akhirnya, isu "ninja" pun pada akhirnya tak pernah mengungkap dengan jelas, siapa aktor intelektual dibalik pembunuhan para kiai dan ulama yang marak di Pulau Jawa.
Sulit untuk tidak dikatakan, bahwa seluruh rangkaian aksi kekerasan yang dimulai dari ujaran kebencian, fitnah, kebohongan hingga informasi-informasi yang bernuansa provokatif sangat erat kaitannya dengan dunia politik. Pun, ketika terjadi aksi kekerasan yang pada awalnya menyasar para dukun santet yang berimbas pada kiai dan guru ngaji di Jawa Timur, lekat dengan nuansa politik.
Itulah kenapa, kasus ini seakan "malu-malu" terkuak secara nyata didepan publik, karena jelas ada motif-motif politik yang tak mungkin diungkap secara jelas oleh aparat. Ini bukan murni kejadian kriminal biasa, tapi terkait banyak hal, terutama bagaimana para aktor bergerak di belakangnya. Inilah yang kemudian diungkap Direktur Amnesty Internasional, Usman Hamid, sebagai realitas "politik kebencian" yang disponsori oleh aktor negara dan nonnegara.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H