Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Fenomena MCA dan Bentuk "Kegilaan" Beragama

28 Februari 2018   16:30 Diperbarui: 28 Februari 2018   19:08 2308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pelaku penyebaran isu provokatif dan ujaran kebencian yang terorganisir dengan nama The Familu Muslim Cyber Army saat rilis di Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu (28/02/2018). Modus kelompok tersebut ialah menyebar ujaran kebencian dan koten berbau SARA, MCA juga menyebarkan konten berisi virus kepada pihak tertentu yang bisa merusak perangkat si penerima. (MAULANA MAHARDHIKA) | foto.kompas.com

Ada banyak indikasi kelompok penyebar hoax dan berita-berita provokatif di media sosial (medsos), namun yang seringkali dikenal oleh para pegiat medsos adalah kelompok yang menamakan dirinya "Muslim Cyber Army" (MCA). Entah ada kepentingan apa kelompok ini menyematkan kata "muslim" dibelakangnya, karena saya meragukan jika memang mereka memahami konsekuensi atas kata "muslim" yang dimaksud.

Saya justru khawatir, mereka sengaja menyematkan kata "muslim" sebagai bagian dari teknik jualan berita hoaks yang mereka sebarkan, karena dengan cara ini, masyarakat "muslim" Indonesia akan lebih percaya karena latar belakang keagamaan mereka yang relatif mayoritas muslim.

Istilah "muslim" tentu saja mengacu pada sebuah entitas primordial penganut agama Islam, yang sebenarnya identitas ini hanya diungkit pada masa-masa awal Islam ketika solidaritas sosial-keagamaan ini mulai terbangun. Selanjutnya, identitas "muslim" diubah lebih berwajah sosio-kultural dengan terminologi "mu'min".

Oleh karena itu, hampir dipastikan seluruh artikulasi Islam yang dipadukan dengan realitas keumatan dan kebangsaan tidak lagi dipahami secara terbatas bahkan primordialistik, tetapi lebih luas menjadi ikatan-ikatan solidaritas berdasarkan keimanan. Seluruh seruan yang terdapat dalam ayat Al-Quran-pun diganti dengan menyebut "yaa ayyuha alladziina aamanuu" (wahai orang-orang beriman) yang tentu saja menghindari cara pandang yang primordialistik, tetapi iman dalam pandangan "holistik".

Saya justru semakin bertanya-tanya dengan istilah "muslim" dalam MCA, apakah mereka mewakili sebuah kelompok tertentu yang memang dipersiapkan dalam menciptakan "kekacauan" atau "kegilaan" dalam hal beragama? Karena jika yang dimaksud adalah Muslim keseluruhan itu sangatlah tidak mungkin, karena Muslim tentu saja anti hoaks, dan tak pernah ada toleransi dalam penyebaran fitnah, berita bohong, apalagi membangun opini yang provokatif.

sumber gambar: piah.com
sumber gambar: piah.com
Hal ini jelas ditegaskan dalam sebuah ayat Al-Quran, "Wahai orang- orang yang beriman, jika ada seorang faasiq datang kepada kalian dengan membawa suatu berita, maka tabayyunlah (telitilah dulu), agar jangan sampai kalian menimpakan suatu bahaya pada suatu kaum atas dasar kebodohan" (QS. 49: 6).

Hanya mereka yang beriman rasanya yang memahami secara baik, bagaimana sikap tabayyun itu diaplikasikan dalam dunia teknologi yang semakin dipersempit oleh isu-isu hoaksx yang semakin merusak. Jadi, bisa saja mereka mengaku "muslim" padahal dalam banyak hal belum sampai pada tahap "mu'min".

Ya, kemungkinan besar merekalah yang disebut sebagai orang-orang yang imannya belum sampai kedalam hati mereka, karena mereka baru sekadar "tunduk" (islam), tetapi belum sampai beriman. "Kami telah beriman". katakanlah: "Kamu belum beriman, tapi katakanlah 'kami telah tunduk', karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. 11:14).

Saya kira aparat keamanan harus lebih detil mengungkap kasus-kasus penyebar berita palsu dan fitnah ini, karena jika tidak, sama saja dengan membiarkan masyarakat ini dijadikan ajang adu domba oleh pihak-pihak tertentu yang memang sengaja ingin mendapatkan keuntungan-keuntungan secara politis. Bukan mustahil, jika salah dalam menelisik kelompok-kelompok penyebar ujaran kebencian, yang ada malah aparat yang dituduh sebagai pihak yang tak adil dan berat sebelah.

Ini sudah menjadi semacam "teori konvensional" di ranah medsos, ketika aparat sukses mengungkap dan menangkap para pelaku ujaran kebencian dan penyebarhoax, maka akibatnya adalah kritikan bertubi-tubi dari netizen karena yang digarap oleh aparat hanyalah kelompok yang terindikasi "muslim" seakan sengaja mendiskreditkan agama tertentu.

Saya kira, banyak sekali kasus yang terindikasi menjadi pemicu bagi nuansa "politik kebencian" yang semakin abadi di tengah masyarakat. Fenomena "orang gila" sebagai penyerang dan pembunuh ulama pun hingga kini belum ada kejelasannya, karena baru seputar praduga-praduga atau pernyataan yang belum sama sekali menyentuh inti persoalan.

Lamanya proses pengungkapan ini, tentu saja menjadi "gerah" sebagian orang dan tentu saja menjadi lahan empuk bagi penyemaian berita-berita palsu yang kemudian disebarkan kepada masyarakat. Bisa jadi ini bukan ulah sekelompok, tapi ulah pribadi-pribadi yang memang memiliki indikasi "kegilaan" dalam agama. Bukankah aparat sering menyebut ada aksi lone wolf dalam kasus penyerangan tempat ibadah? Tidak menutup kemungkinan bahwa serangkaian kasus heboh juga memiliki kemiripan dengan aksi-aksi semacam itu yang didorong oleh kegilaan dalam agama.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun