Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Isu SARA, Pilkada, dan Kosmetikasi Politik

11 Februari 2018   08:51 Diperbarui: 12 Februari 2018   23:57 2285
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sulit untuk dibuktikan, namun segala hal yang berbau politik uang, memainkan isu-isu SARA, dan politisasi agama sudah menjadi bagian dari alat memperoleh kekuasaan, bahkan tak dapat dipungkiri, fenomena pilkada selalu saja dihiasi oleh sesuatu yang disebut "kosmetikasi politik". 

Agama, seringkali dijadikan alat untuk memoles setiap kontestan agar tampak "cantik" dan "menarik" dan disisi lain, agama juga seringkali "dipolitisasi" untuk menghantam atau menjatuhkan lawan politik dalam sebuah ajang kontestasi. 

Bukankah menjanjikan uang 1 triliun untuk kesejahteraan pesantren dan masjid juga sama masuk kategorisasi politisasi agama? Bahkan mungkin dapat menjurus ke soal politik uang, jika pada akhirnya janji politik seorang kontestan dibuktikan terlebih dahulu sebelum dirinya menang dalam ajang kontestasi.

Tidak hanya itu, kekhawatiran banyak pihak soal ini, kemudian melahirkan sebuah kebijakan baru yang oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) disebut sebagai "pedoman khotbah". Lagi-lagi ini terkait dengan agama yang seringkali dipolitisasi, dijadikan "kosmetik" bagi tujuan-tujuan politik. 

Padahal sejauh ini, soal ujaran kebencian, penghinaan, atau pencemaran nama baik---apapun bentuknya---telah diatur secara ketat dan tertuang dalam undang-undang, sehingga hal-hal yang menyangkut teknis soal agama yang dijadikan alat politik,terkait SARA, mendiskreditkan pihak lain, atau menebar kebencian jelas memiliki konsekuensi hukum. Tak perlu lagi membuat aturan-aturan khusus soal pedoman khotbah, karena setiap orang yang terbukti melakukan praktik SARA sudah tentu memiliki konsekuensi hukum.

Kosmetikasi politik dalam pilkada, jelas terlihat ketika tiba-tiba seorang kontestan menjadi sangat agamis. Tidak hanya dari soal berbusana, bahkan setiap majelis pengajian didatangi, diiming-imingi banyak hal, bahkan tanpa harus mengajukan proposal, masjid-masjid atau mushola yang sedang dibangun, justru disambangi dan disumbang. Inikah politisasi agama? Ya, jika agama kemudian dijadikan "kosmetik" bagi dirinya agar tetap terkesan "cantik" dan "menarik" dalam pandangan masyarakat. Lucunya, umat muslim seringkali menjadi sasaran utama untuk dijadikan mesin pendulang suara. Lebih lucu lagi, hari-harin mereka yang sedang menjadi kontestan selalu ingin berdekatan dengan "ulama" dan memperhatikan para "ulama", padahal sebelumnya kenalpun tidak.

Santernya isu politisasi agama, bahkan hingga menjadi perhatian khusus forum bergengsi seperti Musyawarah Besar Pemuka Agama di Jakarta. Hal ini tentu saja mengindikasikan, paling tidak, soal agama yang dijadikan alat kekuasaan semakin mengkhawatirkan. Untuk memenangkan sebuah kontestasi, agama paling sering dijadikan kosmetikasi politik paling laku, walaupun sebenarnya tanpa disadari, agama sendiri telah direndahkan, karena dipaksa mengikuti prosedur kepolitikan. 

Padahal, agama seharusnya tetap menjadi ruh dan substansi dari politik itu sendiri, bukan dimanfaatkan menjadi alat apalagi sekadar kosmetik politik. Walaupun ada anggapan yang menyatakan bahwa itu bukan "politisasi agama", tetapi "kontekstualisasi agama", bagi saya, dalam konteks politik apalagi jelang pemilu, politisasi agama itu tetap dijalankan meski diperhalus sekalipun kebahasaannya.

Wacana soal agama dan politik---apakah entitasnya bersatu atau terpisah---selalu menjadi perdebatan dan pada akhirnya tetap menjadi drama "ikhtilaf" (perbedaan yang tidak substantif). Di satu sisi, agama dan politik adalah suatu kesatuan---seperti dalam Islam---dimana setiap praktik politik tentu saja harus didasarkan nilai-nilai agama, karena agama adalah cara pandang, etika, dan moralitas yang selalu membatasi, membimbing, dan mengarahkan tujuan politik secara baik dan benar. 

Walaupun mesti diakui, bahwa ada yang beranggapan bahwa politik sebagai sesuatu yang "kotor" penuh intrik, mengabaikan nilai moral, menghalalkan berbagai cara demi kekuasaan, merupakan satu hal yang jauh dari dimensi keagamaan. 

Agama sudah semestinya tetap menjadi pedoman berpolitik, mengedepankan etika dan moralitas, dengan nuansa "kesucian" yang melekat didalamnya, bersih dari berbagai unsur kepolitikan yang praktiknya cenderung "kotor".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun