Hal inilah barangkali yang terus diaktualisasikan dan dikontekstualisasikan dalam berbagai forum lintas agama, agar masing-masing pemuka agama memiliki kesamaan visi dan misi, terutama dalam soal menjaga kerukunan dan persatuan umatnya.Â
Bukan soal politisasi agama-nya, karena hal tersebut pasti selalu hadir dalam momen-momen kontestasi politik, tetapi soal terus menyadarkan umat beragama, bahwa hendaknya keberagamaan dipergunakan sebagai panduan dalam berpolitik, sehingga agama tidak "dipaksa" bahkan "direndahkan" sekadar melayani keinginan hasrat politik yang dipergunakan para kandidat untuk meraup keuntungan dalam setiap iklim kontestasi.
Saya meyakini ini memang sangat sulit, tetapi membangun kesadaran dimana agama adalah sesuatu yang "suci" dan "privat" bagi setiap pemeluknya, tidak direndahkan dan dihinakan melalui segala praktik kepolitikan yang cenderung "kotor".
Jangan sampai kemudian terjadi saling klaim, ada sebagian kelompok yang menyatakan bahwa kelompok tertentu sedang menjalankan praktik "politisasi agama" padahal kelompok dirinya juga dengan sengaja "memanfaatkan" isu agama untuk mendongkrak popularitasnya sendiri, bahkan dipergunakan untuk menjatuhkan lawan-lawan politiknya. Agama tetap menarik dijadikan kosmetik politik oleh siapapun, karena itulah satu-satunya cara jika mau menang dalam kontestasi politik di negeri ini.
Kandidat yang enggan menggunakan "simbol" keagamaan, jangan harap dilirik atau dipilih oleh masyarakat Indonesia yang konon agamis. Penggunaan agama sebagai simbol dalam politik, tak jauh berbeda dengan praktis politisasi agama, bukan sedang menjalankan "kontekstualisasi" agama.Â
Simbolisasi agama tentu saja berdimensi luas, entah itu atribut keagamaan yang selalu melekat, kedekatan dengan pemuka agama, janji politik menyumbang masjid atau pesantren, atau tempat ibadah lainnya, setali tiga uang dengan praktik "politisasi agama".
Efek politisasi agama dalam beragam ajang kontestasi, tentu saja berdampak besar terhadap cara pandang masyarakat terhadap dunia politik, sehingga tidak salah jika belakangan, santernya isu politisasi agama seringkali dihubungkan dengan SARA, ujaran kebencian, mempertajam setiap perbedaan, kuatnya arus primordialisme adalah masalah sosial yang kian mengkhawatirkan.Â
Tidak menutup kemungkinan, bahwa ada serangkaian agenda politik yang memang dijalankan oleh aktor-aktor "kuat" dan "tak terlihat" yang tujuannya justru mengeruk berbagai keuntungan dalam setiap kegiatan politik.
Kita sedang dihadapkan pada sebuah kenyataan politik yang cukup rumit, dimana agama terus menerus diseret kedalam pusaran perebutan kekuasaan, sehingga nilai-nilai kebaikan agama justru hancur, direndahkan, dijadikan bahan olok-olok, jatuh sekadar menjadi entitas bagi sebuah kosmetikasi politik.Â
Nilai substantif agama justru lebur dalam nuansa "simbolisasi" dan "politisasi" dan ini justru ditularkan oleh para elit agama, penguasa, dan mereka yang memiliki kepentingan untuk memperoleh kekuasaan. Jika agama sekadar dijadikan "kosmetik", maka jangan harap istilah "politisasi agama" di negeri ini musnah, yang ada malah semakin bertambah. Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H