Kehadiran Presiden Joko Widodo (Jokowi) di acara Munaslub Golkar (18/12/2017) kali ini, serasa berbeda setelah pada tahun sebelumnya Golkar juga menggelar Munaslub dan sukses membawa  Setya Novanto menjadi nahkoda Golkar menggantikan Aburizal Bakri. Sebelumnya, partai berlambang beringin ini mengalami dualisme kepemimpinan, antara kubu Aburizal Bakri dan Agung Laksono. Situasi ini jelas berimbas pada tumbuh suburnya faksi ditubuh Golkar yang terus menerus menggerogoti iklim kondusivitas partai tertua di Indonesia ini. Itulah kenapa, Jokowi tampak "sumringah" di acara Munaslub kali ini, karena berhasil memukau para elit Golkar, menyebut secara fasih "perselingkuhan politik" di internal partainya, seraya meneguhkan "political efficacy" agar Golkar mampu solid menjadi parpol pengusung pemerintah, hingga 2019 mendatang.
Dalam sambutannya, Jokowi secara jelas menyebutkan, terdapat banyak faksi di tubuh Golkar yang sejauh ini berkompetisi dalam meraih pengaruh kekuasaan politik. Jokowi menyebut sebagai "grup" yang masing-masing memiliki pengikutnya sendiri-sendiri yang pada kenyataannya "membelah" Golkar menjadi faksi-faksi yang bisa saja saling berseberangan. Perselingkuhan antarelit internal partai berlambang beringin ini serasa sulit dihindari, mengingat perjalanan sejarah partai ini yang begitu mendominasi jalur-jalur kekuasaan. Golkar sepertinya sulit dipisahkan dari sejarah "partai hegemonik" yang terus menyatu dengan kekuasaan, walaupun belakangan nuansa pragmatisme-politik cenderung menguat, sehingga terjadi terik menarik antara para "loyalis" dan "pragmatis" yang pada akhirnya "membelah" banyak faksi di internal partainya sendiri.
Kefasihan Jokowi dalam memetakan grup-grup "kepentingan" di tubuh Golkar bukanlah tanpa alasan. Kapasitasnya sebagai kepala negara plus sebagai salah satu kader partai politik, tentu saja memahami secara baik, lika-liku keberadaan sebuah partai, terlebih Golkar adalah salah satu partai penyokong dalam pemerintahannya. Tidak hanya itu, Jusuf Kalla merupakan wakil presiden yang mendampingi dirinya, sehingga informasi apapun mengenai Golkar---termasuk keretakan akibat faksi politik---berdasarkan dari sumber internal Golkar sendiri yang sudah tentu fasih. Pertanyaannya, kenapa soal banyaknya grup kepentingan di partai Golkar diungkap secara gamblang oleh Jokowi di acara Munaslub kali ini? Kenapa tidak di acara Munaslub tahun lalu?
Bagi saya, disinilah kepiawaian Jokowi dalam menangkap sebuah momen politik, dimana soal keretakan Golkar baru diungkap pada Munaslub kali ini. Menghangatnya isu politik jelang kontestasi 2019 mendatang, menjadi alasan utama Jokowi membeberkan secara langsung grup-grup kepentingan dalam tubuh Golkar, seraya mempertunjukkan sikap "penghargaan politik" terhadap Golkar melalui keengganannya menduduki kursi VVIP yang disediakan, termasuk menunjukkan simpati politiknya dengan berdiri pada saat lagu Hymne Golkar dikumandangkan. Jika Munaslub tahun lalu seakan masih sarat kepentingan, di Munaslub kali ini, Jokowi secara langsung mengharapkan agar Golkar solid---setelah tercerai akibat kefaksian internal---mendukung pemerintah hingga 2019 mendatang.
Paling tidak, apa yang dipaparkan Presiden Jokowi dalam membuka acara Munaslub Golkar, terkait erat dengan wujud komunikasi politik yang berdampak pada elektabilitasnya pada 2019 mendatang, dengan meminjam soliditas kekuatan politik Golkar. Jika sebuah komunikasi politik lekat dengan "who say what to whom in what channel with wath effects" (siapa mengatakan apa pada siapa dengan efek apa), maka keinginan Jokowi agar Golkar selalu solid dengan memetakan keretakan internal partai berlambang beringin ini terlebih dahulu, lalu mengharapkan agar partai ini solid, dengan gaya bahasanya yang memukau, jelas memiliki efek politik jangka panjang. Secara tidak langsung, Airlangga Hartanto yang dekat dengan kekuasaan, justru diharapkan mampu "menyatukan" faksi di tubuh Golkar yang pada akhirnya lebih fokus mendukung pemerintah.
Keberadaan Airlangga yang ditunjuk rapimnas menjadi nahkoda partai berlambang beringin ini, tidak saja mendapat lampu hijau dari pemerintah, tetapi juga diharap dapat "membersihkan" anasir-anasir pragmatisme yang saling berebut kepentingan keekonomian dan bisnis, menjadi para "loyalis" partai yang senantiasa lekat dan mendukung kekuasaan. Selain track record Airlangga yang "bersih" secara politik, dirinya merupakan salah satu menteri dalam pemerintahan Jokowi-JK yang tentu saja dapat membawa "amanat politik" untuk menyatukan suara Golkar mendukung pemerintah dan tentu saja terkait dengan kontestasi politik nasional 2019 yang tinggal dua tahun lagi.Â
Sulit rasanya, untuk mendudukkan Golkar sebagai parpol "kritis" terhadap penguasa, sebagaimana dulu pernah dijalankan ketika masa pimpinan Aburizal. Munaslub kali ini bisa menjadi pertaruhan politik Jokowi untuk merebut simpati parpol terbesar ini agar mendukungnya di periode kepemimpinan berikutnya.
Tidak hanya itu, keputusan rapim Golkar yang memilih Airlangga Hartarto sebagai ketua umum, berdampak serius pada dukungan politik pilkada di beberapa daerah, termasuk Jawa Barat, yang sebelumnya Golkar mendukung Ridwan Kamil, kini malah menarik dukungannya. Cagub yang sempat digadang-gadang Golkar, namun dicampakkan, Dedi Mulyadi, tampaknya saat ini sedang diatas angin, tinggal selangkah lagi menuju Pilgub Jabar 2018 menjadi penantang utama Ridwan Kamil.Â
Keputusan Golkar melalui "kekuatan" Airlangga yang menarik dukungan terhadap Ridwan Kamil di Pilgub Jabar, sekaligus perwujudan "political efficacy" untuk menempatkan "kantung-kantung kekuasaan" di Jabar yang akan berdampak serius terhadap proses-proses politik terkait pilpres 2019 mendatang. Dedi Mulyadi tampaknya telah terlebih dahulu dilirik PDIP, walaupun parpol besutan Megawati itu belum secara resmi mendeklarasikan dukungannya.
Saya kira, Munaslub kali ini hanyalah sebuah proses peneguhan secara de facto Airlangga untuk menduduki jabatan baru sebagai ketua umum Golkar, tanpa akan terjadi perdebatan alot ataupun kompetisi yang ketat diantara para pesaingnya. Mereka yang muncul menyuarakan akan menjadi pesaing Airlangga tak lebih sebatas "penggembira", bukan wujud kompetitor yang sesungguhnya. Inilah saya kira, perwujudan "partai hegemonik" yang masih membayang-bayangi Golkar yang pada akhirnya sulit membiarkan partai dalam suasana kompetitif yang bertentangan dengan kekuasaan.
Kegaduhan internal partai Golkar yang selama ini terjadi, memang harus segera diakhiri, mengembalikan citra Golkar sebagai "partai penguasa" dan dekat dengan jalur-jalur kekuasaan. Inilah seharusnya yang dapat ditangkap dari ungkapan senior Golkar, Akbar Tanjung, agar Golkar 'bersih', Golkar bangkit, untuk Indonesia sejahtera.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H