Bagi saya, dukungan Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI), Jimly Asshidiqie terhadap Presiden Jokowi agar bisa menjabat dua periode adalah hal yang wajar. Sudah sejak kelahirannya, ICMI merupakan organisasi yang diasuh dan dibesarkan dalam lingkungan birokrasi politik pemerintahan. Ketua umum pertamanya BJ Habibie adalah Mentri Riset dan Teknologi yang waktu itu masih menjabat aktif dalam pemerintahan Soeharto.
Sulit untuk tidak mengatakan, bahwa keberadaan ICMI memang selalu akomodatif terhadap kekuasaan, bagaimana tidak, hampir orang-orang penting di dalamnya adalah para birokrat atau mantan birokrat yang lekat sekali dengan kekuasaan.Â
Jika keberadaan ICMI sebagai organisasi yang memiliki "kaki" dan mampu menembus akses-akses terhadap kekuasaan politik, lalu kenapa ungkapan ketuanya soal dukungan kepada pemerintahan Jokowi dianggap bermasalah?
Tak bisa dipungkiri, kelahiran ICMI dibidani oleh suasana politik yang kental akan sebuah perubahan perlakukan (reversed treatment) atas negara terhadap komunitas Islam.
Belakangan yang terjadi juga demikian, bagaimana pemerintahan Jokowi di satu sisi, juga dekat dengan berbagai kalangan cendekiawan muslim dan berbagai ormas Islam moderat, termasuk memberi akses yang luas terhadap ruang artikulasi keislaman dan keindonesiaan, baik melalui jalur struktural maupun kultural. Beberapa cendekiawan muslim ditempatkan secara strategis di bawah lembaga kepresidenan, sebut saja Yudi Latif yang menjadi ketua UKP-PIP dan Din Syamsudin sebagai utusan khusus presiden untuk dialog dan kerja sama antaragama dan peradaban. Sebagaimana diketahui, keduanya merupakan anggota dewan penasihat ICMI yang masih aktif.
Melihat dukungan Ketua Umum ICMI kepada Jokowi di acara Pembukaan Silaturrahim Kerja Nasional ICMI se-Indonesia dan HUT ke-27 ICMI di Istana Kepresidenan, Bogor (8/12/2017) adalah sikap akomodatif organisasi cendekiawan muslim ini yang lumrah dilakukan dan sudah seharusnya memang demikian, sebagai wujud penegasan atas "politik identitas" ICMI yang sejauh ini sulit untuk tidak berpijak diluar konteks kekuasaan.Â
Sebuah identitas, tentu saja---meminjam istilah yang diungkapkan Levi-Strauss---merupakan sebuah "gerak menuju" bukan "kembali ke", sehingga sebuah identitas tentu saja senantiasa terbuka, bukan tertutup; senantiasa berinteraksi, bukan menutup diri; senantiasa kreatif, bukan menelan mentah-mentah.
Menarik membaca arah dukungan yang diugkapkan Jimly---baik secara pribadi atau mengatasnamakan ICMI---terhadap kepemimpinan pemerintahan Joko Widodo. Dukungan tentu saja bukan berlandaskan pada sebuah angan-angan kosong, apalagi didorong oleh pengaruh kuat isu "politisasi agama" yang sedikit banyak berdampak terhadap cara pandang umat muslim Indonesia terhadap kekuasaan.Â
Cara pandang Jimly saya kira, dapat mewakili politik identitas ICMI yang akomodatif yang tentu saja diperkuat oleh alasan-alasan logis berdasar fakta sosial, dimana arah dan gerak perubahan yang dimanifestasikan oleh pemerintahan Jokowi dalam banyak hal, menunjukkan eskalasi peningkatan ke arah yang lebih baik.
Terlepas dari soal penolakan internal ICMI sendiri, karena Jimly dianggap sedang berpolitik dan membawa-bawa ICMI seakan seperti sedang berpolitik praktis, perlu kiranya melihat lebih jauh dari proses kesejarahan ICMI sendiri di Indonesia.
Bagi saya, kedekatan ICMI dengan para birokrat politik, bukan saja organisasi ini tak sepenuhnya sepi dari beragam kepentingan kekuasaan, tetapi jauh dari itu bahwa ICMI sebagai leverage politik, memiliki sumber daya yang dapat "menekan" dan mempengaruhi beragam kebijakan penguasa, sehingga diperlukan sikap politik yang akomodatif termasuk memberikan dukungan penuh kepada kekuasaan. Apalagi sikap Jimly bukan sekadar angan-angan tetapi berpijak pada rasionalitas dan fakta politik secara keseluruhan.