Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menilik Sikap Keberagamaan Zaman "Kiwari"

6 Desember 2017   13:45 Diperbarui: 7 Desember 2017   10:20 3123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengenai sikap keberagamaan generasi kiwari---baik ketika merespon soal isu keagamaan maupun politik---sulit untuk tidak dikatakan cenderung berwatak intoleran dan radikal. Generasi kekinian  nampaknya menyerap lebih banyak informasi melalui jejaring media sosial (mesdsos), hampir tak pernah melakukan penelusuran informasi lainnya sebagai medium pembanding. 

Sikap reaktif disertai emosional, bahkan terkadang destruktif keseringan muncul sebagai respon atas beragam isu yang berkembang. Medsos sepertinya sukses menjadi ajang terbesar persemaian benih-benih radikal dan intoleran, dengan sangat cepat mengubah cara pandang dan sikap keberagamaan yang pada awalnya toleran, justru berbalik, menjadi intoleran bahkan radikal.

Sikap keberagamaan, yang umumnya memandang wajar setiap perbedaan pendapat, pada kenyataannya, tak memberikan ruang soal itu. Tak ada tempat bagi proses dialogis atau perbedaan pendapat, yang ada sepertinya klaim demi klaim atas kebenaran secara subjektif. Proses radikalisasi  yang sukses melalui jejaring medsos, memang terasa sulit dibendung. Penyelesaian masalah melalui "kekerasan" nampaknya menjadi metode efektif yang paling tepat bagi mereka untuk penyelesaian beragam konflik sosial dan politik (Anita Peresin, 2014: 91).

Era milenial---khususnya yang didominasi generasi muda---rentan terjangkit virus radikal dan intoleran akibat perolehan informasi yang membanjiri alam pikiran mereka secara sepihak, tanpa proses-proses berpikir secara logis dan dialogis. Internet dan media sosial (medsos) menjadi sumber informasi paling dominan, menjadi penghubung diantara mereka, menyerap dan bertukar beragam informasi yang tak jarang memiliki muatan-muatan radikal. 

Sebagai contoh, ketika kita mengetikkan kata kunci di laman google, "NKRI dalam hukum Islam", sontak beragam informasi membanjiri laman tersebut dan sulit untuk tidak mengatakan, bobot informasi berkecenderungan radikal justru serasa lebih mendominasi dibanding informasi berimbang lainnya.

Menarik membaca sebuah penelitian yang dilakukan oleh Pusat Pengembangan Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta, yang menyebutkan, bahwa kemudahan akses internet memicu sebagian generasi milenial memiliki pemahaman keagamaan yang cenderung intoleran dan radikal. Saiful Umam, Direktur Eksekutif PPIM menyebutkan, akses internet sangat berpengaruh terhadap cara pandang keagamaan siswa dan mahasiswa, karena pengguna internet dan medsos sebanyak 85 persen didominasi kalangan generasi produktif ini.

Saiful kemudian memerinci pada acara rilis survei di Jakarta (08/11/2017) mengenai sikap keberagamaan di kalangan generasi kiwari, terutama berpedoman pada tiga faktor yang paling berpengaruh terhadap sikap keberagamaan seseorang, yaitu pengajaran yang diberikan oleh guru dan mentor agamanya, sumber pengetahuan agama dari internet, dan performa pemerintah tiga tahun belakangan ini (sumber: www.ppim.uinjkt.ac.id).

Ketiga faktor ini menjadi indikator paling berpengaruh terhadap cara pandang keberagamaan seseorang yang dihubungkan dengan realitas sosial-politik. Paling tidak, beberapa alat ukur yang dipergunakan dalam penelitian yang dilakukan PPIM, dapat merepresentasikam sejauh mana persepsi seseorang dalam memahami idealitas keberagamaan dirinya dan cara pandang dirinya terhadap realitas sosial yang ada. 

PPIM mewawancarai lebih dari 2000 responden yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Mereka terdiri dari para dosen, guru, dan siswa/mahasiswa yang berada dalam lingkup wilayah kependidikan agama Islam. Pada level opini saja, para siswa atau mahasiswa cenderung memiliki sikap keberagamaan yang radikal dan intoleran dengan angka mencapai 58,5 persen. Ini belum soal intoleransi internal (sesama muslim) yang mencapai angka 51.1 persen.

Hasil rilis ini menjadi sangat menarik, ketika dihubungkan dengan gejala radikalisme dan intoleran yang belakangan menguat, sesuai dengan hasil rilis Badan Pencegahan dan Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada 2016 lalu. BNPT menyebut, bahwa 26 persen kalangan pelajar dan mahasiswa setuju melakukan jihad dengan cara-cara kekerasan (www.rappler.com). Bahkan, setahun kemudian, BNPT merilis data terbarunya yang menyebutkan, 39 persen mahasiswa justru tertarik paham radikal (www.republika.co.id). 

Saya kira, persepsi terhadap presentase radikalisme dan intoleransi---terutama dikalangan generasi muda---menunjukkan tingkat kekhawatiran, bahkan sebuah warning jika tidak segera diselesaikan melalui cara-cara konstruktif yang berdampak terhadap deradikalisasi. Agama dan sikap keberagamaan yang baik, semestinya dapat mencegah sikap intoleran yang berlebihan, mau menerima setiap perbedaan pendapat, dan idealitas keagamaan sudah semestinya tak mempertentangkan aspek-aspek modernitas maupun perubahan.

Sikap keberagamaan yang baik, bagi saya, justru jauh dari sikap-sikap intoleran, berpaham sempit atau bahkan terlampau fanatik dalam mengapresiasi keyakinannya sendiri. Inilah kemudian kenapa  Nabi Muhammad telah mengingatkan agar sikap keberagamaan yang benar adalah memiliki kecenderungan kepada kebenaran (hanifiyyah) dan toleransi (samhah). "Sikap keberagamaan yang paling disukai Allah adalah cenderung kepada kebenaran (al-hanifiyyah) dan toleransi (as-samhah)", demikian sebuah hadis yang direkam secara apik dalam KitabShahih Al-Bukhori. 

Idealitas keberagamaan tentu saja tidak hanya ditopang oleh serapan informasi sepihak, tetapi melalui berbagai proses logis yang terbuka. Kemudahan akses terhadap internet dan media sosial, tentu saja harus diiringi oleh sikap tabayun, mendialogkan berbagai kemungkinan, dan terus mencari kebenaran informasi, tidak berhenti pada proses transmisi media sosial atau internet.

Realitas kekinian yang ditunjukkan oleh hasil penelitian PPIM soal sikap keberagamaan generasi kiwari dengan kecenderungan intoleran dan radikal yang cukup tinggi, sepertinya memang hasil dari dampak buruk internet dan media sosial. Walaupun penelitian ini menyasar kelompok usia muda yang menggeluti pendidikan Islam secara formal, namun paling tidak, secara umum generasi kiwari tampak sulit mensinkronisasi antara idealitas keagamaan dan realitas keberagamaan ditengah gempuran informasi sepihak yang membanjiri internet. 

Idealitas keagamaan yang seharusnya dipersepsikan dalam proses menggali kebenaran, berpikir logis dan dialogis, mampu mengedepankan sikap toleran, justru terkesan mandek. Akses mereka yang terus menerus dengan dunia maya, membangun jaringannya sendiri, melahirkan sikap keberagamaan yang cenderung ekslusif dan tertutup, sehingga virus radikal dan intoleran menjangkiti hampir seluruh alam pikiran mereka. Idealitas keberagamaan tentu saja condong kepada kebenaran (proses logis dan dialogis) dan toleran---sebagaimana disebutkan Nabi---bukan malah tertutup terlebih bersikap fanatik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun