Pernah ada sebuah buku yang menarik yang merupakan pengalaman KH Saifuddin Zuhri---mantan meneteri agama era Soekarno dan ayahanda Lukman Saifuddin---yang ditulis dengan judul "Guruku Orang-orang dari Pesantren". Pengalaman pribadi Saifuddin dikemas secara apik menjadi sebuah tulisan yang sangat menarik dibaca, soal pengakuan dirinya belajar dari pesantren ke pesantren.Â
Saya pasti tidak sebanyak pengalaman kiai Saifuddin yang banyak bertemu dan belajar dengan beberapa "mahaguru" di pelbagai pesantren besar di Indonesia, namun paling tidak, saya punya beberapa pengalaman pribadi yang saya rasakan bahwa saya lahir, besar, belajar dan mewarisi tradisi pesantren, walaupun saya tidak menetap di pesantren.
Guru saya yang paling pertama kali saya kenal, tentu ayah saya sendiri, KH Solihin Uzer. Beliau lulusan Pesantren Babakan Ciwaringin Cirebon yang saat itu masih diasuh oleh KH Amin Sepuh dan KH Sanusi. Yang pertama saya sebutkan merupakan santri dari Kiai Kholil, Bangkalan, Madura, salah satu tokoh pendiri NU. Maka wajar bahwa kehidupan kecil saya lekat dengan kultur NU yang dibawa oleh ayah saya sendiri dalam keluarga.Â
Antara tahun 1960-1970, ayah saya tetap "nyantri" di Ciwaringin sembari ngajar menjadi guru agama honorer di beberapa sekolah sekitarnya. Pengalaman nyantri lebih dari 10 tahun, tentu saja menjadi modal pengalaman ilmu agama yang cukup pada waktu itu, hingga akhirnya ayah saya lolos seleksi menjadi guru agama negeri di lingkungan Departemen Agama.
Pada tahun 1980-an, selepas saya lulus sekolah dasar, saya melanjutkan ke Pesantren Al-Hikmah, Babakan Ciwaringin Cirebon, yang diasuh oleh KH Nasihin Aziz (Allahu yarham) salah satu teman akrab ayah saya ketika masih sama-sama nyantri di KH Amin Sepuh. Pertama kali dalam hidup saya ini mengenal apa itu pesantren dan beragam sisi kehidupannya disaat usia saya masih sangat belia. Inilah guru saya yang kedua diluar pendidikan formal yang saya dapatkan di sekolah.Â
Sosok Kiai Nasihin yang sangat bersahaja dengan pembawaannya yang lembut, membuat para santri sangat hormat kepada beliau. Kiai Nasihin mengajarkan banyak hal, termasuk berprilaku baik, menghormati yang lebih besar dan menyayangi yang lebih kecil. Pembawaannya yang hampir tak pernah marah dalam kondisi apapun, membuat para santri semakin segan pada kiai yang dikenal ahli dalam ilmu nahwu dan sharaf ini.
Kiai Nasihin dikenal piawai dalam ilmu alat---nahwu dan sharaf---termasuk menguasi ilmu ushul fiqh yang kemudian diajarkannya kepada para santrinya. Saya merasakan sendiri ketika beliau mengajarkan kitab Al-Amtsilah Attashrifiyyah dan Ushul Fiqh yang sedemikian dalam penguasaannya yang diajarkan beliau selepas sholat subuh berjamaah.Â
Meskipun saya termasuk orang yang "bebal" dalam menerima ilmu-ilmu alat, namun lekat dalam ingatan saya, ketika setiap perubahan kata dalam bahasa Arab (sharaf) dilantangkan oleh setiap santri seusai shalat Subuh, menambah semangat para santri untuk menghafalkan setiap perubahan kata yang disusun dalam kitab Amtsilah. Dalam usia saya yang masih belia, memang sulit memahami apa makna setiap perubahan kata yang disebut dalam ilmu sharaf, tapi paling tidak, melantangkan suara dapat mengingat memori otak tampak lebih melekat.
Kitab Ushul Fiqh karya Hudlori Beik, cukup dikenal di kalangan santri tradisional dan merupakan kitab yang diajarkan di tingkat mutawassith (pertengahan), karena santri pada tingkat dasar (uula) akan kesulitan memahaminya. Saya mengenal kajian Ushul Fiqh ini ketika saya masuk jenjang kelas tiga tsanawiyah (SMP), walaupun saya harus ikut bergabung bersama santri-santri lainnya yang lebih senior dan tentu saja, saya termasuk paling muda waktu itu.Â
Kajian Ushul Fiqh adalah pilihan yang boleh diikuti atau tidak---terutama untuk santri uula---karena ada pilihan kajian kitab lainnya yang diasuh ustadz senior, yaitu ahklak dan ilmu tauhid. Saya lebih memilih bersama Kiai Nasihin, untuk mengikuti kajian Ushul Fiqh, meskipun saya sadar, akan menjadi kesulitan tersendiri bagi saya.
Tiga tahun saya belajar di pesantren salaf di Ciwaringin, tak menghentikan keinginan ayah saya untuk tetap "mewajibkan" saya kembali ke pesantren, padahal saya telah selesai sekolah formal di tingkat menengah pertama. Tak tanggung-tanggung, ayah berkeinginan agar saya tidak menjadi "NU minded" dan belajar lebih banyak ilmu keagamaan yang lebih modern dan variatif.