NU belakangan ini malah seringkali dibenturkan dengan kalangan muslim lainnya yang ditengarai cenderung berideologi "radikalis". Sebut saja, beberapa kegiatan pengajian yang akan diisi oleh para ulama yang dianggap "radikal" oleh NU, justru dilarang bahkan dibubarkan. Pengajian yang akan digelar dengan nama-nama tokoh tertentu seakan di-black list oleh kalangan NU, tak perlu lagi ada kata "toleransi" bagi mereka. Yang justru menyedihkan, banyak pihak lain yang kemudian memanfaatkan kasus penolakan ini membuat informasi "hoax" yang disebarkan kepada masyarakat, sehingga membuat konflik "sektarianisme" ini justru semakin meruncing. Sebut saja, misalnya ada informasi yang begitu menohok soal Banser NU yang bertebaran di medsos menyoal sikap mereka yang tak mentolelir pengajian yang diisi oleh tokoh-tokoh yang dianggap berhaluan "radikal".
NU sepertinya memang sedang galau, berada diantara kelompok "garis lurus", "garis lucu" dan "garis keras" dan serasa kehilangan pijakannya sebagai ormas Islam yang sejak dulu dicitrakan sebagai kelompok moderat. Ketiadaan tokoh kharismatis---atau memang karena modernitas, kharisma sekadar simbol---yang kuat di tubuh NU membuat ormas ini berada di alam kebimbangan. Ada baiknya saya mengulang kembali, bagaimana cara Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari mengajak dalam sebuah bingkai persatuan, menjauhi nuansa sektarianisme yang melahirkan perpecahan diantara umat.Â
Pada Muktamar NU ke-3 pada 1930, Kiai Hasyim menulis sebuah buku, "Qanun Asasi Nahdlatul Ulama", dalam pendahuluannya beliau menulis agar umat Islam bersatu (ittihad), saling mengenal (ta'arruf), dan tenggang rasa (ta'alluf). Ketiga konsep yang diutarakan Kiai Hasyim nampaknya semakin semakin sulit terwujud, terutama jika mereka yang mengaku NU, tetapi malah menanggalkan nilai-nilai dan tradisi ke-NU-an itu sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H