Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

NU Diantara Garis Lurus, Garis Lucu dan Garis Keras

8 November 2017   12:10 Diperbarui: 8 November 2017   22:30 3525
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

NU belakangan ini malah seringkali dibenturkan dengan kalangan muslim lainnya yang ditengarai cenderung berideologi "radikalis". Sebut saja, beberapa kegiatan pengajian yang akan diisi oleh para ulama yang dianggap "radikal" oleh NU, justru dilarang bahkan dibubarkan. Pengajian yang akan digelar dengan nama-nama tokoh tertentu seakan di-black list oleh kalangan NU, tak perlu lagi ada kata "toleransi" bagi mereka. Yang justru menyedihkan, banyak pihak lain yang kemudian memanfaatkan kasus penolakan ini membuat informasi "hoax" yang disebarkan kepada masyarakat, sehingga membuat konflik "sektarianisme" ini justru semakin meruncing. Sebut saja, misalnya ada informasi yang begitu menohok soal Banser NU yang bertebaran di medsos menyoal sikap mereka yang tak mentolelir pengajian yang diisi oleh tokoh-tokoh yang dianggap berhaluan "radikal".

NU sepertinya memang sedang galau, berada diantara kelompok "garis lurus", "garis lucu" dan "garis keras" dan serasa kehilangan pijakannya sebagai ormas Islam yang sejak dulu dicitrakan sebagai kelompok moderat. Ketiadaan tokoh kharismatis---atau memang karena modernitas, kharisma sekadar simbol---yang kuat di tubuh NU membuat ormas ini berada di alam kebimbangan. Ada baiknya saya mengulang kembali, bagaimana cara Hadratussyekh KH Hasyim Asy'ari mengajak dalam sebuah bingkai persatuan, menjauhi nuansa sektarianisme yang melahirkan perpecahan diantara umat. 

Pada Muktamar NU ke-3 pada 1930, Kiai Hasyim menulis sebuah buku, "Qanun Asasi Nahdlatul Ulama", dalam pendahuluannya beliau menulis agar umat Islam bersatu (ittihad), saling mengenal (ta'arruf), dan tenggang rasa (ta'alluf). Ketiga konsep yang diutarakan Kiai Hasyim nampaknya semakin semakin sulit terwujud, terutama jika mereka yang mengaku NU, tetapi malah menanggalkan nilai-nilai dan tradisi ke-NU-an itu sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun