Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

La Nyalla di Tengah Gempuran Politik Muslim "Tradisionalis"

30 Oktober 2017   12:57 Diperbarui: 30 Oktober 2017   15:49 3325
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
La Nyalla Matalliti| Foto: tribunnews.com/Bobby Constantine Koloway

Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur yang secara serentak digelar pada 2018, kemungkinan besar akan diikuti oleh tiga kontestan: Khofifah Indar Parawansa, Syaifullah Yusuf, dan La Nyalla Mahmud Matalliti. Kedua kontestan yang disebut diawal merupakan kader NU yang didukung oleh warga muslim "tradisionalis" dengan akar pesantren dan ke-NU-an yang cukup kuat. 

Sedangkan yang terakhir, salah satu tokoh di Jatim yang cukup populer, karena berbagai aktivitas sosialnya, baik dalam bidang bisnis maupun olahraga. Munculnya nama La Nyalla tidak begitu mengejutkan, karena memang nama dirinya sudah beredar di pusaran kontestan politik Pilkada Jatim, walaupun belum secara tegas siapa parpol pengusungnya.

Bagi saya, La Nyalla ibarat sosok yang dalam pergumulan kontestasi politik, berada ditengah-tengah arus kuat kelompok Islam tradisionalis yang seringkali dinisbahkan kepada warga nahdliyyin yang masih kuat memegang teguh tradisi pesantren. Terlebih bahwa para parpol pengusung La Nyalla, cenderung dekat dengan kalangan muslim modernis, seperti PKS, PAN dan juga Gerindra. 

Memang sulit nampaknya, menyatukan ideologi politik antara kelompok tradisionalis dan modernis, ibarat mencampurkan minyak kedalam air. Hal ini bisa dibuktikan, dalam beberapa fenomena politik terkait dukungan pada ajang kontestasi, kedua model masyarakat ini cenderung jarang berkoalisi dalam membangun kekuatan politik. Di Pilgub Jabar juga demikian, PAN, PKS dan Gerindra masih kebingungan menentukan pilihan, bahkan berencana akan membentuk "poros baru" yang pada akhirnya menentukan sendiri kontestan politiknya.

Melihat peta politik di Pilgub Jatim yang sangat kental nuansa NU-sentris, beberapa parpol yang memiliki "kedekatan" dengan kalangan muslim modernis, justru enggan melebur menjadi bagian dari parpol pendukung muslim tradisionalis. Memperkenalkan La Nyalla saja harus dilakukan di sebuah pesantren modern, Al-Ishlah, Bondowoso dan dihadiri oleh berbagai kalangan yang juga representasi muslim modernis. Paling tidak, ungkapan La Nyalla sendiri yang sudah mengantongi restu dari Prabowo dan Amien Rais, menguatkan asumsi bahwa kalangan muslim modernis telah secara bulat mendukung pencalonan La Nyalla di Pilgub Jatim 2018.

Bagi saya, perjuangan La Nyalla rasanya cukup berat ketika menjadi cagub yang diusung "poros baru" Gerindra, PAN, dan PKS. Hal ini dikarenakan, sebaran persentase kekuatan parpol yang tidak begitu signifikan (Gerindra 13; PAN 7; dan PKS 6 kursi) yang walaupun bersepakat melakukan koalisi, tetap akan mendapatkan "perlawanan" cukup kuat dari warga nahdliyyin yang menjadi basis utama masyarakat Jatim. 

Terlebih jika melihat pada karakteristik NU yang lebih condong mendekat ke kalangan nasionalis dibanding muslim modernis, akan menambah berat saja perjuangan La Nyalla dalam memenangkan Pilgub Jatim mendatang. Saya kira, isu-isu soal tradisionalisme Islam yang mengusung citra Islam Nusantara akan mampu menumbangkan isu-isu soal "puritanisme Islam" yang sejauh ini diusung kelompok muslim modernis.

Saya kira, kehadiran La Nyalla ditengah gempuran kelompok "muslim tradisionalis" di ajang kontestasi politik Jatim 2018 menjadi hal yang cukup menarik. Sebagaimana diketahui, bahwa Khofifah dan Syaifullah Yusuf merupakan dua kader NU yang sama-sama membawa gerbong warga nahdliyyin,dan sama-sama mengangkat tema-tema politik yang berkait dengan Islam tradisional: percaya pada kekuatan dukungan kharismatis para kiai dan pesantren. 

Keduanya berebut pengaruh diantara para kiai dan pesantren yang menjadi lambang kekuatan politik muslim tradisionalis. La Nyalla sudah memetakan kekuatan politiknya sendiri, melalui pesantren berlatar belakang modern, para aktivis keagamaan, pengusaha muslim dan dukungan dari parpol yang memiliki kedekatan dengan kalangan Islam modernis.

Walaupun bagi saya, kategorisasi "tradisionalis-modernis" yang sejauh ini hampir tidak bisa lagi disematkan dalam mengukur dan memotret akurasi keberadaan kelompok umat muslim, namun paling tidak, isu-isu ini dapat dimanfaatkan kembali sebagai "kosmetik politik" bagi siapapun yang akan bertarung di ajang kontestasi, khususnya di Jatim. 

Perebutan pengaruh dan dukungan dari para kiai dengan latar belakang ke-NU-an atau diluar NU  masih tetap dipergunakan para kontestan jika ingin memperoleh kemenangan di Pilgub Jatim. Melihat dari tiga kontestan yang ada, tidak berlebihan sekiranya disebut bahwa terdapat ajang perebutan pengaruh politik antara mereka yang menjadi representasi kalangan tradisionalis dan modernis Islam. Pada kenyataannya, La Nyalla yang diusung tiga kekuatan parpol, tampak sekali ke mana arah kecenderungan parpol pengusungnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun