Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pidato Politik Rasulullah Soal Pribumi dan Non-Pribumi

17 Oktober 2017   12:21 Diperbarui: 17 Oktober 2017   13:01 1918
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tulisan ini barangkali sekadar refleksi sejarah, bagaimana semangat Rasulullah menyatukan seluruh umat, agar tak menjadi sekat-sekat yang mempersempit sikap-sikap keumatan, kebangsaan bahkan kenegaraan. Pidato Rasulullah tentu saja masih sangat relevan dengan situasi dan kondisi zaman now, yang seringkali banyak pihak yang "mempertentangkan" antara dirinya atau kelompoknya dengan kelompok atau golongan lain, sehingga jatuh dalam kubangan fanatisme atau sikap ta'asshub golongan. Jika kemudian pidato Rasulullah ini sebagai bentuk "kritik" terhadap pidato politik Gubernur Jakarta, Anies Baswedan, itu lain soal, karena memang secara faktual, mempunyai konteks tersendiri, kepada siapa dan apa tujuannya sebuah pidato itu disampaikan.

Dalam sebuah peristiwa yang disebut dengan "Haji Wada" (Haji Perpisahan), Rasulullah nampaknya menyadari betul bahwa dirinya seakan hendak pergi untuk selama-lamanya, meninggalkan umatnya yang saat itu masih "terserak" dalam balutan fanatisme kekelompokan. Rasulullah tentu saja mempunyai keinginan besar menyatukan bangsa Arab dalam sebuah tatanan pluralistik, multi-kultur yang berperadaban. Penyebutan "Arab" yang berkonotasi "komunitas yang nomaden" juga pada prakteknya membelah berbagai macam kelompok berdasarkan ras, kesukuan atau golongan tertentu. Penyatuan bangsa Arab dengan demikian, menjadi salah satu "bentuk ideal" yang tergambar dalam benak Rasulullah, agar mereka satu sama lain bersatu, menghilangkan sekat-sekat fanatisme golongan, membangun sebuah peradaban manusia yang lebih baik.

Dalam beberapa literatur sejarah Islam, pidato Rasulullah diabadikan menjadi sebuah catatan penting yang semestinya senantiasa direfleksikan oleh umat muslim, agar memiliki cara pandang yang cenderung "pluralistik" lepas dari ikatan-ikatan fanatisme atau ekslusivisme. "Wahai sekalian manusia, ketahuilah bahwa Tuhan kita satu, nenek moyang kita satu, tak ada yang lebih utama antara bangsa Arab dan bukan Arab, juga tidak lebih utama yang bukan Arab terhadap bangsa Arab, tidak ada perbedaan antara mereka yang berkulit merah atau berkulit hitam, tidak juga harus membedakan antara mereka yang berkulit hitam dengan kulit merah, kecuali ketakwaan mereka di hadapan Allah". Ini adalah penggalan kalimat pertama dari pidato politik Rasulullah yang dikutip dari buku "wa Madlotu fil Islam" karya Dr. M. Ratib An-Nabulsi.

Dari catatan pidato Rasulullah ini, saya kira jelas, terdapat pelajaran yang sangat berharga soal bagaimana cara membangun sebuah peradaban manusia yang lebih maju, yaitu dengan meninggalkan cara pandang yang sempit terhadap bentuk fanatisme golongan. Islam yang dibawa oleh Rasulullah jelas menganut pandangan "rahmatan lil alamin" dalam bentuk yang paling nyata, tegas dan bernuansa pluralistik. Jika kemudian ada istilah "pribumi" dan "non-pribumi" yang belakangan selalu dipersoalkan, apalagi kemudian dibedakan menjadi dua hal yang salah satunya memiliki "keutamaan" dari yang lain, berarti tak ada bedanya dengan kemunduran berprinsip pada zaman Jahiliyah (kebodohan) yang masih kuat menganut fanatisme kelompok, kesukuan atau golongan.

Pluralisme adalah sebuah keniscayaan dalam sebuah tatanan masyarakat, sehingga jalan yang terbaik adalah bagaimana menerima setiap "perbedaan" menjadi "persamaan" dalam konteks kerjasama membangun peradaban kemanusiaan. Apalagi ditegaskan, bahwa ajaran Islam yang diperkenalkan oleh Rasulullah jelas berideologi pluralistik, karena meniadakan setiap perbedaan, baik pribumi maupun non-pribumi dalam konteks kerjasama kemanusiaan, sehingga hanya ketakwaan kepada Tuhan yang hanya dapat membedakan mereka. Ketakwaan jelas terkait dengan cara pandang Ketuhanan yang tak mungkin direduksi kedalam cara pandang kemanusiaan yang cenderung terikat dalam bingkai subjektivitas.

Lalu, jika ada pidato lain yang kemudian menyoal bahwa pribumi seharusnya menjadi tuan rumah yang sah atas sebuah komunitas yang sedang dipimpinnya, dan mengenyampingkan pihak lain yang juga hidup bersama dalam sebuah komunitasnya, bukankah ini malah mempromosikan "perbedaan" yang melanggar nilai-nilai pluralistik? Jawabannya, bisa berbeda-beda, tergantung dari unsur latar belakang ideologi yang bersemayam di balik kepalanya masing-masing. Karena sejauh ini, tak ada seseorang yang bisa lepas dari kungkungan ideologinya, bahkan seseorang yang dicap sebagai tokoh pluralis sekalipun, terkadang sulit menjauh dari ideologi yang memenjarakan isi pikirannya. Padahal, hampir lebih dari 1500 tahun yang lalu, Rasulullah secara pribadi justru berpidato menyinggung persoalan pluralisme masyarakat yang menjauhkan dari kecenderungan serba "parsial".

Saya jadi terhenyak, ketika membaca sebuah ayat Al-Quran yang menyebut fanatisme kelompok atau golongan adalah bagian dari sikap "musyrik" (menyekutukan Tuhan) yang justru paling berbahaya, karena musyrik dicap sebagai bagian perbuatan dosa yang sulit diampuni. "Dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang mempersekutukan Allah, yaitu orang-orang yang memecah-belah agama mereka dan mereka menjadi beberapa golongan. Tiap-tiap golongan merasa bangga dengan apa yang ada pada golongan mereka" (QS Arrum: 30-31). Bagi saya "kebanggaan" terhadap golongan atau kelompoknya sendiri justru akan menimbulkan masalah, bukan saja menghambat proses kemajuan peradaban, tetapi akan lebih banyak terjerumus dalam nuansa konflik dalam masyarakat yang pada akhirnya akan memecah belah umat.

Saya beranggapan, tujuan pidato Rasulullah pada saat Haji Wada adalah bagaimana menjalankan konsep Islam "rahmatan lil alamin" yang justru memberangus sekat-sekat perbedaan yang seringkali dibanggakan oleh setiap golongan dalam masyarakat. Bahasa sederhananya, ada koeksistensi "pribumi" dan "non-pribumi" yang seharusnya lebur ketika dihadapkan pada sebuah kondisi kemasyarakatan, terlebih dalam bangunan konsep berbangsa dan bernegara. 

Walaupun pada kenyataannya setiap kelompok dalam masyarakat itu mewujud, lengkap dengan beragam atribusi kefanatikannya, namun ketika sudah menjadi bagian dalam sebuah masyarakat lebih besar, sekat-sekat itu semestinya luntur digantikan oleh cara pandang yang sama untuk tujuan kemaslahatan dan kemajuan. Mengungkit kembali soal "pri" dan "nonpri" apalagi menunjukkan keutamaan antara satu dengan lainnya, tidak saja bertentangan dengan demokrasi, tetapi justru mencederai nilai-nilai pluralistik yang sempat dikumandangkan Rasulullah. Jadi, masih sepakat dengan perbedaan atau lebih baik mengusung ideologi persamaan? Anda akan lebih arif untuk bisa menjawabnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun