Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Survei dan Komersialisasi Dunia Politik

8 Oktober 2017   13:11 Diperbarui: 8 Oktober 2017   13:25 890
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perhelatan kontestasi politik yang semakin dekat, membuat dunia politik makin hingar-bingar, ibarat produk komersial yang dijajakan ke tengah publik. Bukan hanya iklan politik yang nampak "terselubung" melalui model-model pencitraan para kontestannya, berbagai lembaga survei juga mulai menawarkan jasa-jasa politik mereka untuk membantu mendongkrak citra politik siapapun yang membutuhkannya. Berapa banyak lembaga survei yang merilis "produk politik" nya yang disesuaikan dengan pesanan, menyurvei berbagai macam hal yang penting bisa mengubah opini publik.

Survei sepertinya telah menggiring opini publik untuk menjauhkan politik dari nilai-nilai ideologis berpolitik itu sendiri, mengarahkannya sekadar fokus pada bentuk-bentuk artistik politik. Isu politik bahkan direduksi menjadi semacam "produk komersial" yang diperjualbelikan. Kita tahu, bahwa isu-isu tertentu yang berkembang dalam masyarakat, seperti kebangkitan komunisme, politisasi agama atau kenyataan korupsi, lalu dimanipulasi menjadi dapat bernilai ekonomis dan dijual sebagai produk politik untuk kepentingan pragmatisme sesaat. Jarak yang semakin dekat dengan pagelaran kontestasi membuat berbagai lembaga survei maupun kontestan politik laku keras dan banyak diminati publik yang cenderung pragmatis dalam memandang dunia politik.  

Jika kita memperhatikan berbagai lembaga survei, nampak jelas mereka memperjualbelikan produk politiknya dan tentu saja bekerjasama dengan media, bagaima kemudian sebuah hasil survei dapat dengan cepat mempengaruhi opini publik. Masyarakat, tentu saja akan lebih mudah memahami lewat atraksi survei yang dipublikasikan media dengan kekuatan artistiknya, bukan pada pesan politiknya itu sendiri. Tak jarang, sebuah rilis survei yang dipublikasikan, mengangkat citra politik pihak tertentu dan disisi lain, menjatuhkan dan memberangus pihak lainnya yang dianggap sebagai lawan politik pemesan survei tersebut. Mirip dengan persaingan yang terjadi dalam dunia bisnis, komersialisasi dunia politik saat ini adalah sebuah keniscayaan.

Dunia politik saat ini tak ubahnya seperti pasar (market) yang didalamnya marak transaksi jual-beli beragam kepentingan. Produk politik bisa dijual melalui lembaga-lembaga survei yang ada dengan tentu saja berlaku sebuah konsekuensi, semakin bonafid sebuah lembaga survei, maka semakin mahal biaya pembuatan produk politiknya. Proses komersialisasi seperti ini, justru semakin menegaskan suburnya praktik politik "dagang sapi" diantara para pelaku-pelaku usaha politik dengan berbagai individu atau kelompok dalam sebuah lembaga politik. Masing-masing pihak berupaya memaksimalkan keuntungan dan kepentingannya sendiri-sendiri.

Kondisi ini---saya kira---semakin menjauhkan politik dari sebuah upaya dialektika yang dinamis, baik pertukaran ide ataupun diskusi yang cenderung mendekatkan ikatan-ikatan ideologis antara masyarakat dan partai politik (parpol). Kontestan individu atau parpol cukup menyewa lembaga survei atu kontestan politik untuk mengemas kepentingannya menjadi sebuah "produk politik" yang bernilai jual di hadapan masyarakat. Padahal, politik dalam tataran idealnya sangat penting dalam proses pembangunan masyarakat, bukan sekadar bagaimana agar politik lebih berorientasi pasar: mengeruk keuntungan dengan cara mengeksploitasi isu-isu politik sehingga bernilai komersial dan mampu "dijual" ke khalayak publik.

Sulit bagi saya mempercayai lembaga survei yang benar-benar "bebas" dari kepentingan apalagi dengan dalih independen hanya ingin mengungkap "kebenaran politik" secara transparan dan mempersilahkan publik untuk menilainya. Wajar, jika dalam banyak hal, muncul kekecewaan dari berbagai kalangan kepada hasil rilis lembaga survei yang sarat bias kepentingan politik dan condong menjadi produsen politik dari pihak-pihak berkepentingan yang membiayainya.

Anda boleh setuju ataupun tidak terhadap lembaga survei, karena tidak begitu berpengaruh terhadap kebaikan dunia politik. Pasalnya, komersialisasi dunia politik tak terbantahkan ditengah menguatnya aspek kapitalisasi yang mengejar berbagai keuntungan ekonomis, tak peduli lagi soal ideologi, nilai-nilai atau fatsoen politik yang masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat. Dalam politik tak lagi ditemukan loyalitas, karena komersialisasi dunia politik berupaya mencari mitra-mitra yang lebih menguntungkan dirinya sendiri. Jika sudah dianggap "mengganggu" dan "membahayakan" produk politik yang sedang mereka jual, seorang loyalis sekalipun bisa didepak karena tidak memberi keuntungan ekonomis apapun.

Lembaga survei dan semacamnya, menciptakan persaingan semakin bebas dan terbuka dalam berbagai interaksi di dunia politik. Kenyataan ini bahkan mendorong iklim investasi politik tidak lagi murah, bahkan seringkali menjadi beban utang yang dilunasi dengan korupsi oleh banyak para aktor politik yang memenangkan kontestasi. Mereka menjadi semakin pragmatis, mengeruk keuntungan pribadi dari jalur-jalur kekuasaan yang diperolehnya, bukan lagi semakin menguatkan ideologi politik yang dibawanya yang dipakai sebagai "alat" membangun masyarakat.

Kita tentu merasakan, tak adanya ruh politik yang bersemayam dalam ideologi para kontestan, yang ada pragmatisme sesaat, persaingan yang tak sehat, menggeser ide-ide politik yang berasaskan kesejahteraan rakyat menjadi sekadar transaski ekonomi yang saling menguntungkan. Masih percaya lembaga survei di tengah era komersialisasi dunia politik?   

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun