Rasululah pernah mengingatkan, bahwa dua diantara hakim itu sejatinya masuk neraka, karena setiap keputusan hukum yang digulirkannya seringkali memiliki kecondongan "politis" dibanding "yuridis". Kedua hakim yang dimaksud adalah mereka yang memutus perkara tidak adil karena motif tertentu dan karena kecerobohan atau ngawur dalam memutuskan sebuah perkara hukum. Satu-satunya hakim yang masuk surga adalah mereka yang secara jujur dan hati-hati memutus sebuah perkara berdasarkan fakta dan bukti hukum yang ada dan keyakinan yang melingkupinya. Bagi saya, bentuk hakim yang ketiga-pun rasanya sulit diterapkan oleh seorang hakim, karena tentu saja, seringkali didorong oleh sebuah kasus yang dikuatkan oleh stigmatisasi publik.
Anda boleh tidak setuju dengan putusan hakim dengan menjatuhkan hukuman ringan atau malah membebaskan seseorang dari tuntutan hukum, namun atas nama keadilan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, sistem demokrasi rasa-rasanya terkunci rapat-rapat secara otomatis. Inilah fenomena pengadilan manusia di dunia, demokrasi yang diputuskan oleh jutaan suara publik, tak mampu berkutik melawan satu orang keputusan hakim di pengadilan.
Setiap orang atas nama keadilan, "dipaksa" untuk menerima apapun keputusan pengadilan bahkan menghormati apapun yang telah menjadi keputusan pengadilan. Bahkan, Kitab Suci Al-Quran pun masih melontarkan pertanyaan, "Bukankah Tuhan merupakan Hakim yang seadil-adilnya?" (alaisa allahu biahkamil hakimin?). Jadi saya kira, keadilan hanya akan terwujud pada konteks "kedisanaan" karena tak ada yang sanggup melawan keadilan Tuhan, karena "disana" yang tampak maupun tersembunyi diungkap sehingga keadilan hakiki benar-benar terwujud!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H