Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Fanatisme PNS yang Tak Kunjung Pudar

28 September 2017   12:12 Diperbarui: 28 September 2017   12:29 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin saya adalah sekian diantara banyak orang yang bekerja di sektor pemerintahan, tetapi tidak berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS). Sudah seringkali ketika bertemu dengan banyak kolega saya menanyakan, "sudah diangkat jadi PNS?" pertanyaan yang selalu sama berulang-ulang ditanyakan oleh banyak orang, mengingat masa kerja saya sudah lebih dari 9 tahun sebagai pegawai "semi" negara. 

Menjadi PNS sepertinya harapan banyak orang, bahkan dipastikan mindset setiap orang menjadi PNS sudah terbentuk sedemikian rupa, sejak zaman orang tua kita menjadi PNS. Usaha apapun akan dijalankan, termasuk membayar "gratifikasi" dengan nominal tertentu, asal dijamin jadi PNS, tidak menjadi soal. Fanatisme PNS sepertinya memang tumbuh menjadi budaya yang cukup kuat, seakan-akan menjadi wiraswasta atau swasta dianggap alternatif saja karena memang telah "gagal" memperoleh status PNS.

Dibawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, mindset masyarakat yang cukup fanatik terhadap PNS, justru diubah melalui performa Aparatur Sipil Negara (ASN). Melalui ASN ini, pemerintah memang berupaya untuk merubah pola pikir masyarakat yang fanatik terhadap status PNS. Dalam sistematika ASN, diatur berbagai tipe pekerja dalam lingkungan pemerintahan dan memiliki status kurang lebih sama dengan PNS. 

Seperti yang disebut dalam Undang-undang nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN, disebutkan bahwa yang termasuk ASN adalah PNS yang diangkat sebagai pegawai tetap pemerintah dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional, Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) dan pegawai harian lepas (honorer) yang kurang lebih diatur statusnya dalam undang-undang ketenagakerjaan.

Saya kira, keberadaan Undang-undang ASN yang saat ini sedang direvisi terutama untuk mengantisipasi status pekerja harian lepas dibawah pemerintahan, secara bertahap akan mengubah mindset setiap orang terhadap fanatisme PNS. Dalam beberapa klausul yang dijelaskan dalam UU ASN nomor 5 tahun 2014 memang pada dasarnya akan memberikan kesempatan yang sama dalam hal kesempatan fungsi dan jabatan bagi PNS maupun PPPK. 

Jenjang karir keduanya memperoleh hak yang sama, karena PPPK juga bisa mempunyai jabatan strategis di pemerintahan walaupun tidak berstatus sebagai PNS. Saya kira, terdapat beberapa lembaga negara yang para direkturnya bukanlah seorang PNS, seperti BKPM yang saat ini dikepalai oleh seorang profesional, Thomas Lembong.

Saya kira, fanatisme soal PNS memang harus dapat diubah melalui berbagai aturan ketenagakerjaan yang lebih "masuk akal" dan dapat memberikan kesempatan yang luas kepada anak bangsa untuk berkarir di negerinya secara lebih profesional. Sejauh ini, pola pikir masyarakat terhadap status PNS dirasa masih terlampau fanatik: pengakuan status pekerjaan, penghasilan standar plus tunjangan, karir jabatan dan jaminan hari tua. Ekspektasi masyarakat yang ingin diangkat atau menjadi PNS terus saja bergulir, seakan-akan nasib mereka yang non-PNS layaknya "buruh" yang tak memiliki kejelasan status. Padahal, aturan soal ASN secara tegas telah memberikan kesempatan yang sama kepada setiap pegawai yang bekerja di lingkungan pemerintahan, baik penghasilan maupun jenjang karir.

Hampir tidak ada perbedaan antara PNS dan non-PNS dalam lingkup ASN, karena keduanya memiliki status dan kesempatan yang sama dalam hal jenjang karir dalam pemerintahan. Para PPPK juga menurut aturan ASN dapat menempati posisi strategis sesuai dengan analisis jabatan dan kebutuhan yang ada pada sebuah instansi terkait. 

Banyak orang beranggapan, menjadi PNS adalah terkait soal dana pensiun yang diperoleh setelah tidak lagi menjabat, padahal, dana pensiun adalah penghasilan yang dipotong sebesar 8 persen setiap bulan dan dikembalikan setelah pensiun. Seorang PPPK juga bisa menabung mandiri dari setiap penghasilannya dan pada akhirnya tabungan itu adalah "dana pensiun" kelak yang juga dinikmati setelah masa purna jabatan dirinya.

Jadi, masih tetap keukeuh menjadi PNS? Saya kira, iya karena sebuah mindset yang sudah terbangun sekian puluh tahun bisa jadi sulit untuk merubahnya. Bagi saya, menjadi PNS adalah kehendak Tuhan, pun tidak menjadi PNS juga kehendak-Nya. Berdasarkan keyakinan ini, setiap orang akan dapat memberikan sumbangsih pekerjaannya yang lebih bermanfaat kepada lingkungan dan orang lain. 

Bekerja adalah "pengabdian" baik kepada Tuhan maupun negara, tanpa harus dilabeli dengan berbagai macam status pekerjaannya. Justru banyak yang tak pernah menyadari bahwa menjadi PNS adalah menjadi abdi negara, sehingga apa yang bisa diberikan kepada negara itulah tujuan utamanya, bukan apa yang bisa diambil dari negara. Memang, sulit dipungkiri bahwa banyak cerita yang tersebar bahwa menjadi PNS itu enak, santai, banyak gebetan dan diakui status sosialnya di tengah masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun